Urgensi Litsus Ideologi bagi ASN
Oleh : Listiyono Santoso
Seorang PNS terduga teroris tertangkap di Probolinggo (Jawa Pos, 18/5/2018). Pada harian yang sama, beberapa sebelumnya juga tertangkap seorang PNS dengan kasus yang sama, sebagai terduga teroris. Rentetan berita tertangkapnya PNS sebagai terduga teroris tersebut menunjukkan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak lagi steril dari anasir-anasir ideologi yang bersifat kontraproduktif dengan ideologi negara.
Realitas ini tentu saja mengkhawatirkan. Sebagai ASN, seorang PNS dalam menjalankan profesinya diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan prinsip dasar politik kebangsaan dalam koridor yang diatur oleh negara. Dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara secara eksplisit menyebutkan bahwa dalam menjalankan profesinya, ASN harus memegang prinsip nilai dasar (pasal 3) yakni memegang tegus ideologi Pancasila, setia dan mempertahankan UUD NRI Tahun 1945 serta pemerintahan yang sah, dan mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia (pasal 4).
Bagaimana mungkin ASN sebagai abdi negara justru memiliki sikap yang bertentangan dengan tujuan negara? Bukankah diciptakannya ASN berfungsi sebagai aparatur negara demi percepatan tercapainya cita-cita dan tujuan negara yang mampu menjadi pelayan publik secara profesional dan memiliki peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 10 dan 11).
Tugas dan fungsi ASN sebagai perekat bangsa tersebut didasarkan pada suatu kondisi realitas kebangsaan kita yang beragam. Melalui pelaksanaan pelayanan publik yang berkeadilan, maka setiap anak bangsa mendaparkan layanan yang berkeadilan satu sama lain. Prinsipnya, ASN haruslah bekerja sebagai abdi negara, yang seluruh aktivitasnya merupakan penerjemahan semangat mengadi kepada negara dengan memberikan pelayanan berkeadilan kepada warga masyarakat.
Seseorang yang mengabdi adalah seseorang yang mengerahkan segenap daya fisik dan pikirannya untuk kepentingan orang lain. Keikhlasan menjadi –meminjam istilah Bergson- elan vital dari pengabdian. Menjadi wajar jika dalam setiap ‘pengabdian’ selalu disertai dengan idiom tanpa mengharapkan imbalan jasa. PNS merupakan abdi negara. Aktivitas kesehariannya menjadi bagian dari alat negara dalam melayani kepentingan warga negara. Agar totalitas pekerjaannya untuk negara, maka mereka diberi fasilitas seperti penghasilan, tunjangan kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Pemberian fasilitas dimaksudkan agar sebagai abdi negara, mereka bekerja sepenuh hati dalam melayani warga negara (Santoso, 30/4/2016).
Seorang ASN tidak boleh memiliki pikiran dan tindakan yang bertentangan dengan basis ideologi negara Indonesia. ASN seharusnya menjadi teladan bagaimana berkehidupan kebangsaan yang sesuai dengan basis tersebut.
ASN itu prototipe warga negara yang seharusnya mampu menerjemahkan nilai-nilai dasar bangsa dan negara Indonesia dalam praktik kesehariannya. Karenanya, setiap ASN terikat kontrak pada sumpah dan janji sebagai PNS untuk setia kepada negara dan bangsa. Sederhananya, jika memang tidak mau terikat kontrak dengan negara, jangan masuk menjadi PNS.
Litsus Ideologi
Prinsip inilah yang di era Orde Baru setiap warga negara yang mendaftar diri sebagai PNS harus melalui serangkaian proses ketat, salah satunya melalui Litsus (penelitian khusus). Litsus PNS merupakan salah satu cara untuk melihat jejak rekam calon, terutama jejak ideologis pribadi calon maupun lingkungannya. Dalam konteks ini, negara memang berkepentingan agar aparatur negara yang direkrutnya memiliki jejak rekam yang bersinergi dengan cita-cita dan tujuan negara.
Harus diakui, bahwa litsus pada era Orde Baru terlihat memang tidak berkeadilan. Litsus era Orba tersebut menutup kemungkinan anak eks PKI atau organisasi terlarang lainnya menjadi PNS, padahal belum tentu anak tersebut secara ideologis sepakat degan tindakan dan pikiran orang tuanya. Namun demikian, realitas itu dimengerti sebagai sikap hati-hati negara agar tubuh negara tidak dimasuki ‘virus’ yang berbahaya di kemudian hari. Resikonya terlalu besar, jika PNS sebagai bagian dari negara justru memiliki sikap yang bertentangan dengan ideologi negara. Litsus ideologi saat ini bisa menjadi solusi untuk kembali menelusuri jejak ideologis seorang PNS. Terpenting, litsus dilakukan tidak bersikap otoriter, melainkan dengan model yang lebih cerdas, misalnya penelusuran pada jejak aktivitas PNS tersebut dalam keseharian selama menjadi PNS.
Catatan jejak rekam itu menjadi modal penting untuk melakukan pola pembinaan yang seharusnya digunakan oleh negara. Bukankah selama ini juga sudah memiliki pola BINAP (pembinaan aparatur) kepada PNS yang melakukan pelanggaran? Hanya pola pembinaannya diperluas kepada pola pembinaan ideologis kepada PNS yang terindikasi memiliki sikap yang bertentangan degan ideologi negara. Pembiaran terhadap PNS dengan pikiran dan tindakan yang kontraproduktif dengan negara akan menjadikan mereka seperti sel kanker yang suatu saat akan merusak tubuh politik kebangsaan kita.
Penulis adalah seorang PNS, pengajar mata kuliah etika dan filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.
Jawa Pos, edisi 22 Mei 2018