Toleransi Kaum Muda Perlu Dijaga
Presiden: Perhatikan Terus Pendidikan Karakter
Kompas: Surabaya, Rabu, 18 Januari 2014
Generasi muda menolak tindakan radikalisme berbasis agama. Mereka meyakini bahwa agama tidak mengajarkan kekerasan. Orang tua turut berperan penting dalam mengarahkan anak menjauhi radikalisme.
Hasil survei Internasional NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan jaringan Gusdurian kepada 1.200 responden berusia 15-30 tahun menyebutkan, 88,2 persen responden menyatakan sangat tidak setuju terhadap kelompok agama yang menggunakan kekerasan. Sementara yang setuju hanya 3,8 persen. Sisanya, 8 persen, tidak tahu/tidak menjawab.
Survei di Bandung, Yogyakartam Surakarta, Surabaya, Pontianak, dan Makassar pada September-November 2016 itu menggunakan metode proportionate stratified random sampling dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Dari anak muda yang sangat tidak setuju itu, 44,3 persen menganggap tindakan radikalisme tak sejalan dengan nilai agama, 18,1 persen menganggap tak berperikemanusiaan, 16,7 persen menganggap tindakan itu menodai agama, dan 9,7 persen menilai sebagai pelanggaran hukum. Sebanyak 2,5 persen menjawab lain dan 8,7 persen tak tahu.
“Sikap toleran generasi muda perlu dijaga karena merekalah yang nantinya akan menggantikan generasi sekarang. Jika prinsip toleran tidak dijaga, di masa depan mereka bisa terjebak pada masalah eksklusivitas dan menolak perbedaan. Padahal, masyarakat Indonesia sangat beragam,” kata manajer Advokasi INFID Beka Ulung Hapsara, Selasa (17/1), dihubungi dari Surabaya.
Apabila intoleransi di generasi muda terus dibiarkan, lanjutnya, masa depan demokrasi dan pembangunan nasional bisa terancam. Sebab, prinsip-prinsip demokrasi yang meliputi penghormatan hak warga negara kian menipis di benak generasi muda. Intoleransi dan radikalisme mengancam pemenuhan hak-hak warga negara.
Menurut Beka, orang tua memegang peranan penting dalam menjaga sikap toleransi di kalangan generasi muda. Hasil survei menyebutkan, 70,3 persen generasi muda mengikuti nasihat orang tua terkait keyakinan beragama. Ruang diskusi antara anak dan orang tua harus tercipta agar terjadi pertukaran pengetahuan. Orang tua bisa bercerita kondisi masa lalu saat toleransi masih tinggi dan tindak kekerasan masih rendah.
Di lingkungan sekolah, pemerintah perlu menguatkan kurikulum pendidikan. Nilai-nilai toleransi melalui pendidikan karakter harus dikuatkan kepada siswa. Pemahaman tentang toleransi dan keberagaman harus dipraktikkan melalui tindakan. Siswa juga harus paham bahwa hak warga negara telah dilindungi dalam konstitusi.
Saat tumbuh dewasa, generasi muda kampus harus aktif terlibat diskusi. Menurut Beka, saat ini terjadi penurunan pengetahuan sosial yang disebabkan derasnya informasi. Mahasiswa cenderung memilih sesuatu yang instan dan tak ingin mengetahui kebenaran melalui pihak lain guna mengonfirmasi informasi yang beredar.
Media Sosial
Aktivis Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian, Autad An Nasher, menuturkan, media sosial yang selama in dianggap sebagai salah satu media penyebaran radikalisme ternyata banyak berisi konten untuk menggiring tindakan radikalisme.
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid mengatakan, tindakan pemerintah terhadap pelaku radikalisme masih belum kuat, tidak seperti terorisme. Padahal, tindakan radikalisme bisa membuat masyarakat terbelah, menimbulkan diskriminasi, meresahkan masyarakat, dan menguatkan konflik lokal. “Tindakan yang dianggap sebagai kebenaran oleh kelompok mayoritas bisa ditungganggi kepentingan politik praktis karena melibatkan massa,” ujarnya.
Peneliti Wahid Foundation, Alamsyah M Dja’far, mengatakan potensi terjadinya tindakan radikal, antara lain, disebabkan semakin banyaknya orang terpapar informasi berisi ujaran kebencian di berbagai media dan kehidupan sosial. Selain itu, tindakan radikalisme rentan terjadi pada orang yang memahami ajaran agama secara literal dan menentang pemenuhan hak-hak kewarganegaraan.
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Surabaya Ahmad Muhibbin Zuhri mengatakan, pemerintah dan aparat penegak hukum perlu mengambil sikap tegas dalam menghadapi beredarnya ujaran kebencian secara tertulis dan lisan yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat.
Menurut Kepala Kepolisian Resort Kota Besar Surabaya Muhammad Iqbal, pemahaman tentang empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu diperkuat di kalangan generasi muda untuk mencegah tindakan radikalisme.
Pendidikan karakter
Presiden Joko Widodo meminta agar pendidikan karakter bangsa terus menjadi perhatian, khususnya bagi lembaga pendidikan. Pemahaman tentang jati diri bangsa penting untuk menjaga nilai-nilai toleransi di negara majemuk seperti Indonesia.
Untuk itu, kemarin, Presiden memanggil Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, serta Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Nasir ke Kompleks Istana Jakarta. “Pendidikan karakter menjadi perhatian semua pihak,” kata Lukman seusai menghadap presiden (SYA/NTA/DNE).