Website Resmi Forum Kerukuman Umat Beragama Kabupaten Sidoarjo

Toleransi di Sudut Kota Singkawang

Penulis di depan Gong Perdamaian.

Setelah dinobatkan sebagai kota paling toleran di Indonesia tahun 2018 lalu Kota Singkawang banyak dikunjungi tamu dari berbagai daerah. Tentu saja kehadiran mereka untuk menimba ilmu tentang cara menjadikan kota sebagai kota toleran.

Singkawang yang dulunya merupakan bagian dari Kabupaten Sambas hingga saat ini selalu mencuri perhatian, termasuk bagi penulis.

Oleh karena itu, saat berkunjung ke Pontianak rasanya tak lengkap jika tak ke Singkawang. Meski harus menempuh perjalanan kurang lebih 5 jam dengan jalur darat dan ditempuh pada malam hari, tak menyurutkan penulis menuju kota yang terkenal dengan Amoy itu. Tetapi kedatangan penulis ke sana bukan untuk mencari Amoy.

Kedatangan penulis ke Singkawang masih dengan misi yang sama, yakni ingin mengetahui kehidupan masyarakat, terutama kerukunan umat beragama dan etnis-etnisnya.

Sampai di Singkawang sekitar pukul 11 malam. Pukul segitu pasti yang dituju penginapan. Dan wajar karena setelah beberapa jam menghabiskan waktu di Pontianak tanpa istirahat.

Namun, rasanya belum lengkap jika tidak menyempatkan menghirup udara malam kota itu. Warung kopi di perempatan kota pun jadi destinasi merasakan kehidupan malam. Tetapi hal itupun tak berlangsung lama, karena capek dan ngantuk yang tak tertahan.

Keputusan kembali ke Hoten Grand Mandarin -hotel tempat menginap penulis- harus dilaksanakan.

Perjalanan ke hotel kami disapa sekerumunan orang yang secara fisik memiliki perbedaan karakter, ada Tionghoa, Melayu, Jawa, dan Papua yang duduk bersama di teras rumah. Kemungkinan agamanya pun berbeda-beda, karena ada yang memakai peci dan tidak.

Secara singkat Grand Mandarin tak beda dengan hotel-hotel lain. Namun, saat sarapan pagi di restorasinya perbedaan hotel itu dengan hotel-hotel di Jawa tampak. Yang membedakan yakni adanya pelayan seperti etnis Tionghoa bersama etnis-etnis lain di hotel itu.

Selain itu, penulis juga menemukan seorang cleaning service seperti warga Tionghoa juga. Sebuah pemandangan yang jarang dan tak lazim di kota saya Sidoarjo dan sekitarnya.

Pasalnya, kebanyakan etnis Tionghoa selalu menduduki strata ekonomi di atas dari pada etnis-etnis lain.

Dalam hati, rasanya tak tega melihat sebuah etnis yang biasanya nampak kaya raya berubah menjadi warga biasa. Kenyataan itu saya sampaikan ke seseorang yang saya temui di sana. Kebetulan ia juga orang Jawa. Dan ia berkata dengan kalimat sederhana tetapi sangat kontemplatif.

“Sampean itu orang Jawa. Orang Jawa itu tak tegaan, apalagi lihat orang China yang biasanya terlihat kaya raya,” ujarnya.

Cukup sampai di situ, saya kembali ke tujuan utama berada di Singkawang yakni menggali kerukunan umat beragama dan etnis di sana.

Kantor pemerintah daerah pun jadi tujuan penulis. Kedatangan di kantor itu pun disambut sebuah gong besar yang ditempatkan di halaman depan kantor.

Dari kejauhan gong itu tak lebih dari gong biasa, hanya saja ukurannya super besar. Tetapi setelah didekati maka nampak bahwa gong itu merupakan simbol yang sangat bermakna bagi masyarakat Singkawang.

Gong itu terlukis simbol-simbol agama yang maknanya bersatunya umat beragama di Singkawang yang bisa digunakan sebagai contoh masyarakat Indonesia lainnya.

Masuk ke dalam ruangan lobi kantor penulis disambut oleh foto Walikota Singkawang Tjhai Chui Mei. Dari namanya jelas bahwa ia seorang warga keturunan Tionghoa.

Bagi penulis, walikota itu juga menjadi simbol kerukunan setelah gong, yakni kerukunan antar etnis. Sehingga, di Singkawang ada gong yang merupakan simbol kerukunan umat beragama dan walikota yang merupakan simbol toleransi etnis.

Sekilas cerita, sebelum terpilih sebagai walikota Tjhai Chui Mei dikenal sebagai aktivis kemanusiaan. Ia menjadi salah satu orang yang memperjuangkan dihapusnya praktek kawin kontrak yang melibatkan Amoy Singkawang.

Dari situlah masyarakat Singkawang mempercayakan dirinya memimpin kota. Tanpa memandang dari etnis mana dia.

Sekretaris daerah yang berhasil ditemui penulis Drs. H. Sumastro, M.Si menjelaskan bahwa perbedaan adalah takdir. Mempertentangkan perbedaan adalah melawan kuasa Tuhan. Sehingga masyarakat menjunjung tinggi perbedaan yang ada di sana.

Selain itu, masyarakat Singkawang juga memahami bahwa isu antar dan inter agama sangat merusak. Sehingga ada hari besar agama yang menjadi hari besar masyarakat secara bersama-sama.

Event itu di antaranya Tjap Go Meh, Saprehan, Asrakal, Naik Dango, dan lain-lain. Semangat memelihara kerukunan merupakan semangat menjaga otoritas Tuhan. Dengan mengakat harkat dan martabat manusia seadil-adilnya.

Jadi, tak jarang jika ada perayaan hari besar dilakukan bersama-sama tanpa memandang agama, ras, dan etnis atau suku.

Semangat para pejabatnya pun tak kalah dengan masyarakat. Keterlibatan mereka dalam agenda Safari Jumat, Safari Subuh, dan Safari Ahad mengunjungi rumah-rumah ibadah dan tokoh masyarakat wajib diikuti.

Sehari berada di Singkawang terasa tiap sudut-sudut kota adalah pelajaran penting tentang kehidupan yang penuh toleransi antar warga yang beragam etnis, agama, serta status sosial.

Leave A Reply

Your email address will not be published.