Website Resmi Forum Kerukuman Umat Beragama Kabupaten Sidoarjo

Pusat Literasi Norma untuk Lestarikan Nilai Kebangsaan

Oleh: Nur Asitah

Karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama, maka hukum di Indonesia sudah dipastikan mengandung nilai-nilai ketuhanan. Oleh karena itu hal tersebut tertuang dalam Pancasila sila Pertama dan pembukaan Undang Undang Dasar 1945.

Selain itu, ada hukum atau norma lokal yang terbentuk dari adat dan budaya masyarakat yang merupakan hasil musyawarah dan mufakat. Islam, yang merupakan agama terbesar pun dapat menyesuaikan atau berbaur dengan adat setempat, dengan catatan tidak melampaui batas aqidah keislaman itu sendiri.

Umat beragama Indonesia sadar bahwa penggunaan hukum agama yang saklek lebih kepada pribadi dan golongan. Tidak memaksakan untuk diterapkan kepada masyarakat secara nasional.

Oleh karena itu, di Indonesia memiliki aturan yang unik yang tidak hanya memiliki fungsi sebagai payung norma secara nasional tapi juga untuk setiap lokal atau komunitas yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Pada tingkatan nasional, Pancasila, UUD 45, dan aturan-aturan kenegaraan lainnya yang melindungi tegaknya NKRI dan Kebhinekaan. Sedangkan di tingkatan lokal atau regional terdapat norma adat atau kebiasaan yang terbentuk sejak dulu yang tidak memandang perbedaan untuk dipertentangkan.

Norma itu di antaranya kesopanan dan kesusilaan. Keberadaannya untuk menyempurnakan norma-norma lainnya di bumi nusantara. Juga menjadi pelengkap jika dalam norma lain masih butuh penyempurnaan.

Kita dapat mengambil contoh adat di Jawa yang masih menjunjung tinggi unggah-ungguh. Hal itu tidak tertulis secara lengkap dalam kerikulum sekolah atau lembaga pendidikan, namun dipegang teguh oleh masyarakat Jawa.

Norma-norma yang ada itu mengambil peran masing-masing dengan tujuan yang sama, yakni mengatur perilaku masyarakat dalam berkehidupan. Terutama komitmen bersama membentuk bangsa yang besar.

“Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” salah satu wujud norma yang menyadarkan kita untuk kontemplatif dalam bersikap dan menyikapi prilaku dalam pergaulan. Tanpa memandang persamaan dan perbedaan.

Sebagai masyarakat yang sekaligus umat beragama, yang setiap hari berdampingan dengan umat agama lain -yang tidak hanya 1 macam agama, prinsip kehati-hatian dalam bersikap harus diterapkan. Bukan berarti kerena prinsip itu kemudian kita pasif, tapi harus proaktif dalam mengkampanyekan bahwa berbeda dan beragam itu adalah kekayaan norma yang ada.

Selain itu aktif dalam berdialog antar umat beragama, secara formal maupun sebaliknya untuk saling mengerti satu dengan lainnya.

Karena setiap pemeluk memiliki batasan internal yang perlu kita ketahui dan jaga agar bijak dalam menghargai dan mengambil sikap untuk bergaul.

Kasus seorang bule dibogor beberapa bulan silam, yang mengira kegiatan salawatan di musala sama seperti halnya orang karaoke, patut kita jadikan pelajaran. Karena faktor ketidaktahuan menjadi penyebab kesalapahaman yang hampir menimbulkan konflik.

Sebagai makluk yang memiliki kemampuan menyesuaikan diri paling cepat di antara makhluk-makhluk lain, untuk belajar memahami norma setempat hanya cukup dengan memperhatikan kemudian mengikutinya. Sederhananya, tidak ada norma baik yang sulit untuk kita ikuti.

Cukup mengetahui kebiasaan masyarakat itu selama beraktifitas. Karena seperti halnya norma adat lainnya yang tak tertulis dan tertuang tetapi mengikat dan konsekuensinya dapat dirasakan secara langsung.

Hal seperti itulah yang harus menjadi perhatian khusus masyarakat terutama stage holder untuk segera dilestarikan dan dipustakakan. Pasalnya ada kemungkinan kearifan lokal akan hilang tergerus efek globalisasi yang normanya cenderung tanpa batas.

Jika banyaknya norma merupakan kekayaan budaya Indonesia maka harus ada pusat literasi norma bangsa. Selain itu juga ada upaya mensosialisasikan kepada generasi selanjutnya sehingga ciri khas keindonesiaan tetap terjaga.

Karena ada indikasi masyarakat mengabaikan budaya lokal karena semakin derasnya arus infomasi yang datang ke Indonesia. Sehingga aksesnya budaya luar lebih mudah didapat dari pada budaya lokal yang memiliki kecenderungan harus mengikuti proses.

Bukan berarti kita tidak menerima apapun dari luar, tetapi kita harus selektif terutama yang berhubungan dengan norma dan hukum positif bangsa Indonesia. Karena tak diragukan lagi bahwa Indonesia merupakan bangsa yang terbuka menerima norma positif.

 

Penulis adalah mahasiswa UKM Jurnalistik, Universitas NU Sidoarjo

Leave A Reply

Your email address will not be published.