Polemik Gereja Pantekosta Di Indonesia (GPdI) Di Desa Mergosari Kecamatan Tarik Dengan Tokoh Masyarakat Setempat
Laporan Kejadian #4

KERANKGA PROBLEM SOLVING
1. Logical frame dan penyusunan kerangka analitik.
Membaca situasi yang muncul, menuntun kita untuk membaca kondisi terdalam dari semua yang ada dipermukaan. Gejalanya adalah, mengapa muncul sikap yang sama-sama keras dari ke dua belah pihak?Adakah kondisi sosial yang mempengaruhinya?
Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kacamata analitik hingga sampai kepada penelusuran kondisi awal. Dalam tinjauan teoritik tentang aktualisasi “integrasi sosial” bisa dilacak dengan dua indicator. Pertama, tentang sejarah masa lalu dan apakah ada sejarah masa lalu yang berpengaruh?
Jika sejarah masa lalu adalah sejarah konflik, maka akan berpengaruh kepada interaksi sosial di antara mereka adalah interaksi konflik. Sebaliknya, jika sejarah masa lalu adalah sejarah harmoni, maka interaksi yang terbangun hari ini akan terbangun hubungan harmoni.
Pertama.
Dari penelusuran FKUB, kami peroleh beberapa informasi awal yang menuntun penjelasan analitik tersebut. Pada tahun 1994, terjadi peristiwa “pembakaran gereja” pantekosta di desa Kemuning. Desa tersebut bersebelahan desa Mergosari.
Sejarah pembakaran Gereja di dusun Buntut, desa Kemuning, kecamatan Tarik ini menyisahkan catatan kelam sepanjang masa bagi warga Tarik. Dari pandangan kelompok Kristen yang kami terima, bahwa perisitiwa di Buntut, Kemuning itu terjadi karena ulah sekelompok provokator.
Dari sisi tokoh masyarakat, kami peroleh pandangan bahwa ada “harkat” sebagai wilayah sensitif tokoh masyarakat yang terlukai. Tentu kita tidak bisa menyalahkan salah satu pihak, toh peritiwanya sudah terjadi.
Namun, kami mencatat ada proses “pembelajaran” di antara semua pihak agar peristiwa 1994 ini tidak terulang. Terdapat suatu komitmen tidak tertulis yang diikuti semua pihak, bahwa pihak kaum muslim, janganlah lagi melakukan tindakan-tindakan anarkhis kepada pihak umat lain.
Sedangkan pihak umat Kristen, pendeta-pendeta Kristen mulai belajar bagaimana gereja itu hidup, tumbuh, berkembang dengan tidak “menyinggung harkat dan martabat” tokoh-tokoh setempat. Ya, semuanya menurut kami sedang dalam proses belajar untuk hidup berdampingan dalam perbedaan.
Secara sosiologis, Tarik adalah salah satu kecamatan di wilayah kabupaten Sidoarjo, yang tingkat homogenitasnya lebih tinggi dibanding wilayah lain.
Secara agama, sangat homogen. Dalam masyarakat seperti ini, tokoh masyarakat, tokoh agama, ustad, kiai menduduki status sosial yang sangat dihormati. Mereka memiliki peran yang sangat penting. Mereka juga lebih resisten terhadap nilai-nilai baru.
Apakah masuknya nilai-nilai baru itu bisa mengganggu harmoni sosial yang lama terbangun. Maka, masuknya hal-hal baru memang harus menjamin eksistensi sistem ini tidak terganggu.
Masuknya hal-hal baru perlu mendapat “trust” tinggi. Hal-hal baru ini harus dipastikan bukanlah suatu ancaman. Maka, setiap hal-hal baru yang masuk memang “dipaksa” harus menyesuaikan diri dengan realitas ini.
Selama puluhan tahun sejak 1994, semuanya memang sedang belajar beradaptasi dengan perubahan. Kaum muslim, sedang belajar untuk melihat kenyataan bahwa heterogenitas sosial di Sidoarjo ini menjadi kenyataan yang tidak bisa ditolak.
Mereka harus belajar “bersahabat” dengan perubahan ini. Sedangkan pihak Kristen, secara umum juga sedang belajar untuk menemukan “teologia baru” membangun ke-Kristen-an itu dengan lebih pro-eksistensi. Tidak sekedar mengejar “kemegahan” gedung gereja, maupun memperbesar jemaat.
Dari penuturan berbagai pendeta yang kami temui, mereka menyatakan sedang belajar “menghadirkan Gereja” sebagai berkat bagi masyarakat sekitar. Selama puluhan tahun sejak 1994, harmoni antar umat Islam dengan umat Kristiani di Wilayah Tarik terjaga di dalam garis nilai equilibrium di atas.
Nilai kesimbangan ini, adalah batas masing-masing harus berkomitmen tidak berjalan terlalu jauh sehingga dianggap melanggar nilai keseimbangan tersebut. Mereka harus berjalan bersama-sama, tidak boleh ada satu pihak melaju lebih kencang, karena akan “menjebol” nilai kesimbangan ini.
Menilik kebelakang, beberapa tahun sebelum polemik ini mencuat, kegiatan ibadat jemaat GPdI di Desa Mergosari ini telah berjalan baik-baik saja diselenggarakan di rumah salah seorang jemaat. Selama beberapa tahun berkembang, jemaat sepertinya memerlukan tempat ibadat yang lebih representative.
Maka setahap demi setahap dilakukan pembangunan gedung untuk ibadat yang saat ini berdiri. Nah, merujuk dari gambaran sosiologis di atas, kejadian di Mergosari ,Tarik, bisa melahirkan pertanyaan apakah ada suatu yang dicurigai melanggar “consensus” ini?
Kedua.
Beberapa tahun yang lalu, saat pilkades Mergosari, ada peristiwa dukung-mendukung yang melibatkan orang GPdI (apakah dia secara pribadi ataukah merepresentasikan jemaat GPdI, ini perlu telaah lebih lanjut), di satu sisi ada tokoh masyarakat muslim di pihak yang lain.
Kebetulan pemenang kontestasi pilkades ketika itu adalah kades yang hari ini menjabat dan didukung oleh kelompok tokoh Islam desa. Suasana vis a vis ini seakan mengemuka ketika problematika gereja ini muncul, menjadi isu yang turut memanivestasikan polarisasi tokoh Islam vs Kristen.
2. Problematika Penerapan PBM 2006 tentang rumah ibadat.
a. Ada kondisi umum, implementasi PBM Tahun 2006, terkait ketentuan tentang rumah ibadat, memang berpotensi problematis, bagi beberapa golongan umat beragama di tengah masyarakat mayoritas yang berbeda agama.
Syarat untuk mendapat persetujuan 60 orang warga setempat sering menjdi persoalan tersendiri bagi pemohon. Dalam banyak kasus yang ditangani FKUB, bila terdapat kendala seperti ini, FKUB memberikan opsi agar kelompok umat beragama tertentu lebih mengendepankan strategi membangun kerukunan dengan lingkungan setempat.
Faktor utama adalah sejauh mana tidak ditolak dulu oleh warga. Perihal izin formal, bisa ditempuh pelan-pelan seiring kondisi kerukunan yang terbangun. Secara umum, strategi ini berhasil. Memang dengan komitmen pihak kelompok agama bersangkutan lebih bersabar dan mampu membangun hubungan baik dengan masyarkat.
Dalam catatan FKUB, tidak kurang dari 300 gereja (besar maupun kecil) sebagian besar di kawasan perumahan bisa berjalan baik melaksanakan ibadat meskipun tidak memiliki IMB sebagai gereja. Para pendetanya juga tidak memaksanakan diri untuk mendapatkan “selembar” izin formal.
Tetapi, diterimanya mereka di tengah masyarakat menjadi faktor yang menerangkan berjalannya suatu komitmen untuk terjaganya “garis nilai keseimbangan” hubungan gereja dengan masyarakat.
b. Ada kondisi khusus, implementasi PBM 2006 ini berpotensi problematis di kalangan Kristen Pantekosta, kondisi khusus ini dalam catatan kami relatif tidak muncul di kalangan Kristen protestan. Di kalangan Katolik rekatif lebih aman.
Pertama, perihal syarat memiliki jemaat 90 orang untuk menjadi gereja. Syarat ini menjadi problematis bagi kalangan Kristen pantekosata, sebab eksistensi suatu gereja, dalam kaidah yang dimiliki kalangan pantekosta, sangat sentral dimulai dari “kehadiran” seorang Pendeta.
Sejak ditasbihkan sebagai seorang pendeta, ia memulai persekutuan dari titik nol (tidak ada jemaat). Lalu mulai menghimpun jemaat, satu orang, dua orang, dan seterusnya. Perhimpunan persekutuan ini mereka mulai bisa dari rumah pribadi pendetanya, atau tempat lainnya yang tentu saja masih bukan berstatus gereja.
Persekutuan dengan jemaat berapapun harus dirintis, dengan ibadat kebaktian. Di sinilah problematikanya. Seorang pendeta Pantekosta pasti “terjebak” di dalam spekulasi apakah mereka akan membangun gereja? bisa iya, bisa tidak.
Jika jemaatnya tidak berkembang, pasti tidak akan mampu membangun gedung gereja. Seorang pendeta pun (meskipun punya mimpi membangun gereja) tidak akan berani “sembrono” mengatakan tempat ini adalah gereja.
Konsekuensi adalah seorang pendeta akan berada di garis “ketidakberanian” mempersiapkan secara terbuka persyaratan-persyaratan mendirikan gereja. Status yang paling aman memang “menyatakan” tempat ini sebagai “rumah doa”. Namun, mereka berharap kegiatan ibadat seperti kebaktian harus tetap bisa lakukan.
Di sinilah problematika awal itu. Jika penerapan PBM 2006, dengan ketentuan bahwa IMB gedung gereja itu bisa diberikan kepada kelompok agama yang minimal memiliki 90 jemaat, maka sebagian besar kelompok Kristen pantekosta gagal memenuhinya, karena jumlah jemaatnya berproses. Banyak di antaranya kurang dari 90.
Pertanyaannya, apakah rumah-rumah ibadat (non gedung gereja) ini harus ditutup? sedangkan sebagai umat Kristen mereka harus melaksanakan ibadat kebaktian setiap minggu, meskipun jemaatnya tidak mencapai 90.
Pemerintah daerah, secara khusus melalui FKUB, sesungguhnya memahami ini. Sehingga penerapan PBM 2006 ini tidak harus secara kaku diterapkan. Umat Kristen tersebut kenyataannya di antara 300 an rumah ibadat yang ada, tetap hidup dan berjalan tanpa harus diwajibkan memenuhi IMB rumah ibadat.
Syaratnya adalah digaris equilibrium, yaitu mereka mampu membangun hubungan baik. Intinya jangan sampai ada konflik.
Titik problematik kedua adalah terkait status tempat-tempat ibadat tersebut. Sebagaimana proses awal pendeta pantekosta membngun komunitas kristennya, mereka memulai dari rumah pribadi di perumahan-perumahan, atau menyewa ruko-ruko.
Maka, jika mengikuti PBM 2006 secara kaku, mereka tidak akan bisa mendapatkan IMB Gereja, sebab status gedung mereka adalah rumah pribadi atau ruko-ruko yang tidak mungkin berubah menjadi sertifikat sebagai rumah ibadat. Paling bisa adalah berstatus sebagai rumah ibadat sementara.
3. Arah Penyelesaian
Dalam kasus di Mergosari, dua problem di atas masih dimilki pihak GPdI Mergosari. Tetapi bagaimana mereka tetap bisa melaksanakan kebaktian dengan kondisi damai, meskpun tidak berststus Gereja permanen.
Namun, memang perlu dipikirkan arah penyelesainnya karena masalah ini sudah terlanjur mencuat ke permukaan. Eksistensi jemaat GPdI di Desa Mergosari harus tetap terjaga, di sisi lain kondisi perasaan ketidak nyamanan tokoh masyarakat tidak terabaikan.
Dalam jangka pendek adalah bagaimana meredahkan situasi ketegangan menuju arah dialog di antara mereka. Pemerintah, FKUB harus mampu menjadi mediator di tengah yang bertindak seadil-adilnya.
Sidoarjo, 17 Juli 2024
Ketua FKUB Sidoarjo
M. Idham Kholiq, S.Sos, M.AP