Peringatan IMLEK: Sekilas tentang Tionghoa di Surabaya dan Sekitarnya pada Masa Lalu
Sidoarjo — 28 Januari 2017
Sejarah tentang komunitas Tionghoa di Surabaya setidaknya telah dimulai sejak abad ke-14. Pada saat itu telah terbentuk perkampungan orang Tionghoa Islam di Muara Sungai Brantas Kiri (sekarang Kali Porong—Red) yang berprofesi sebagai pedagang hasil bumi.
Selanjutnya perkembangan tercatat pada awal abad ke-18 dimana Surabaya masuk dalam wilayah di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Pada masa itu, perkampungan awal Tionghoa di Surabaya diperkirakan berada di sebelah utara kraton dan di luar benteng (sekarang menjadi daerah di sekitar Bibis—Red). Antara Kraton dan benteng Belanda terdapat pasar luas (sekarang daerah pasar besar). Orang-orang Tionghoa menjual hasil bumi dengan harga murah.
Perkembangan komunitas Tionghoa semakin terlihat pada abad ke-19 ketika jumlah imigran Tionghoa yang masuk ke Surabaya meningkat. Pada awal abad 20, imigran Tionghoa yang masuk ke Surabaya semakin beragam, mulai dari pedagang kelas menengah atau saudagar kaya, tukang-tukang, pedagang kecil, buruh, dan kuli kasar.
Tujuan kedatangan mereka adalah menuju pusat-pusat kota. Orang-orang Tionghoa hidup secara mengelompok di pusat-pusat perdagangan dan pusat kegiatan ekonomi lain (kampung Pecinan), di sepanjang aliran Kali Mas. Profesi mereka mulai dari pedagang perantara, buruh, dan pekerja bebas lain.
Pada masa penjajahan Jepang sekitar tahun 1942-1945, Warga sipil kota melakukan perampokan pada rumah-rumah mewah milik orang Belanda, Eropa, dan toko-toko Tionghoa. Pada masa itu, sistem pelapisan masyarakat Surabaya terbagi menjadi:
- Orang Jepang
- Orang Indonesia, Melayu, Tionghoa, Arab, dan India
- Orang Belanda dan Eropa
Pada masa setelah proklamasi kemerdekaan, sikap Warga Tionghoa sukar ditebak. Ada yang gembira pada kemerdekaan Indonesia. Ada yang tidak percaya pada kemerdekaan Indonesia. Pada sekitar bulan Januari 1946, terjadi pemogokan penduduk Tionghoa Surabaya. Pemogokan tersebut berasal dari Pasar Pabean di wilayah Songoyudan. Pasar ini merupakan salah satu wilayah pemusatan permukiman orang Tionghoa masa pelaksanaan politik wijkenstelsel (Belanda). Pemogokan berlangsung 4 hari tapi melumpuhkan kegiatan perekonomian Surabaya.
Demikian sekilas tentang perjalanan Tionghoa di Surabaya pada masa lalu. Sampai saat ini komunitas Tionghoa masih ada di Surabaya dan sekitarnya termasuk di Kabupaten Sidoarjo. Salah satu eksistensi masuknya Tionghoa di Sidoarjo dapat dilihat dari tempat ibadat Tri Dharma Tjong Hok Kiong di Sidoklumpuk, Kecamatan Sidoarjo yang sudah berdiri sejak tahun 1869.
Selain itu, jejak Tionghoa di Sidoarjo juga ada, meski banyak yang tidak tahu. Pada zaman dahulu di kawasan Sepanjang, Kecamatan Taman, terdapat sekolah Tionghoa dan komplek kelenteng yang megah. Nama sekolah tersebut adalah Zhonghua Xuexie. Sekolah tersebut setingkat dengan Sekolah Dasar. Namun sekolah itu sudah ditutup pada masa Orde Baru, selepas peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sekarang sisa dari bangunan tersebut menjadi SMP Muhammadiyah 2 Taman. (NDA, disarikan dari berbagai sumber).