Perayaan Lebaran Menurut Prespektif Kristiani
Oleh: Dr. Viktor Sagala
Idul Fitri adalah hari raya saudara Muslim (non Kristiani), tidak ada anjuran dalam Kitab Suci atau aturan gerejani yang secara langsung mengatakan agar umat Kristiani merayakannya. Namun sebaliknya kita pantas bersyukur, karena tokoh agama maupun pemimpin umat Kristiani, tidak ada yang melarang umat untuk bersilaturahmi dan mengucapkan selamat berhari-raya kepada saudara Muslim.
Umat Kristiani ikut bersuka-cita atas perayaan Idul Fitri. Ada beberapa nilai spritualitas yang dapat dipetik Umat Kristiani dari perayaan Idul Fitri itu. Tentu saja umat Kristiani tetap memandang perayaan itu dari prespektif iman Kristiani sendiri. Setidaknya ada tiga tema yang menonjol setiap kali perayaan Idul Fitri dilakukan, yaitu kemenangan, bermaaf-maafan, dan silaturahmi.
Marilah kita simak satu-persatu secara Alkitabiah dan Kristiani ketiga nilai spritualitas itu.
1) Kemenangan: Saudara-saudara Muslim melakukan ibadah puasa dengan tekun selama 30 hari. Mereka menahan rasa haus, lapar, nafsu sex, nafsu amarah seharian. Perilaku menahan nafsu tersebut adalah keinginan yang sering menjatuhkan umat manusia.
Musuh paling sulit ditaklukkan adalah diri sendiri. Setiap orang ingin makan dan minum, memiliki harta, ingin kaya, ingin berkuasa, ingin berwibawa, dan lain lain -semua itu normal. Namun menjadi masalah apabila melakukan dan mencapainya dengan cara yang tidak benar. Muncullah perilaku serakah, persekongkolan jahat, korupsi, mengumbar nafsu birahi, perkosaan, trafficking, pelacuran dan kejahatan lainnya.
Keberhasilan melawan semua nafsu itu dengan sukses, itulah yang disebut kemenangan oleh saudara-saudara Muslim. Ketika mereka sukses melakukan puasa itu, diakhirilah dengan suka-cita, yaitu perayaan Idul Fitri.
Salah satu TV swasta member judul malam menjelang idul fitri tahun ini “Malam Anugerah Kemenangan.”
Prespektif Kristiani: Bukankah umat Kristiani diajarkan untuk berpuasa? Baik umat perjanjian lama, maupun umat perjanjian baru, diajarkan untuk berpuasa harus dilakukan dengan benar, bukan? Meskipun Isa AlMasih tidak memerintahkan secara khusus untuk berpuasa, namun Dia memberi contoh perilaku sesudah berpuasa dan pelaksanaan puasa bagi orang-orang yang tidak munafik.
Pada awal pelayanan karya kasihNya, Isa AlMasih berpuasa 40 hari di gurun (Mat 4:1-11). Buah dari puasa itu adalah kemampuan Isa AlMasih mengalahkan tiga godaan klasik Iblis yaitu nafsu memiliki harta, nafsu berkuasa, nafsu mempesona.
Ketika Isa AlMasih menyelesaikan puasa 40 hari itu, iblis melancarkan satu persatu godaan klasik itu. Godaan pertama adalah godaan roti (harta); “Engkau tentu lapar, jika benar anak Allah, jadikanlah batu ini menjadi roti,” demikian tantangan iblis.
Seandainya Isa AlMasih tidak mampu menahan rasa haus dan lapar, tentulah tantangan itu akan dilakukan. Bukankah menjadikan batu menjadi roti adalah pekerjaan yang sangat mudah bagi Isa AlMasih dan sangat mengasyikkan, selain mempertontonkan kehebatan, roti bisa mengobati rasa lapar, kalau batunya besar, nanti sisa rotinya banyak, bisa dijual untuk mendatangkan devisa.
Normal saja logika seperti itu. Namun Isa AlMasih mematahkan godaan iblis itu dengan bersabda; “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” Patah godaan pertama, iblis melancarakan godaan yang kedua, yaitu nafsu untuk berkuasa (tahta); “Jika Engkau menyembahku, maka separuh kerajaan dunia ini akan kuberikan kepadaMu,” goda iblis. Seandainya Isa AlMasih tidak mampu melawan nafsu ingin cepat-cepat berkuasa pastilah tawaran itu dilayaniNya.
Begitu banyak orang ingin mencapai kekuasaan dengan cara melakukan kecurangan; membeli suara pemilih pada pilkada dan pilpres, melakukan koalisi dengan partai yang tidak sevisi, memanfaatkan jasa dukun untuk mentransfer jin, melancarkan kampanye hitam, menyebarkan berita hoax, membeli ijazah palsu sebagai modal menjadi anggota parlemen, dan cara-cara kotor lainnya.
Dengan dalih “kekuasaan bukan ditunggu, tapi harus direbut,” mereka merasa bahwa merebut kekuasaan adalah perilaku yang biasa dan halal. Yesus tidak tergoda oleh nafsu berkuasa itu, “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!,” sabda Isa AlMasih mematahkan godaan itu.
Dua godaan patah, iblis kembali melancarkan godaan ketiga, yaitu “pesona”, “Lompatlah dari atas kubah Bait Allah ini, Engkau tidak akan jatuh, karena menurut Kitab Suci akan datang malaikat menatangMu, agar jangan terantuk ke batu,” demikian godaan pamungkas iblis. Seandainya Isa AlMasih tergoda ingin semua orang terpesona melihat atraksiNya, pastilah godaan itu dipenuhiNya.
Begitu banyak orang ingin mengaktualisasikan diri, ingin dipuji, ingin disambut dengan tepuk tangan dan decak kagum atas atraksi yang dibuatnya. Pesulap, magician, olahragawan, ilmuwan, pengusaha, dermawan, dan kalangan lainnya, ingin melakukan suatu yang spektakuler untuk dilihat orang dan dikagumi orang, membuat orang terpesona, sehingga diapun tersanjung, merasa dihargai, dikagumi masyarakat.
Keinginan mengaktualisasikan diri adalah sesuatu yang normal, namun keinginan yang berlebihan menjadikan seseorang menjadi ambisius, dan terkadang melakukan sensasi agar cepat terkenal. Isa AlMasih memilih untuk mematahkan godaan itu; “Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!,” sabdaNya. Isa AlMasih mencapai kemenangan.
Patah tiga godaan, bukan berarti iblis diam, namun senantiasa ditunggunya kesempatan, setiap umat yang ingin berbuat baik digodanya secara halus dalam setiap kesempatan. Oleh sebab itu kemampuan melawan hawa nafsu seperti yang diperagakan oleh Isa AlMasih adalah kemenangan.
Isa AlMasih juga menjanjikan kemenangan bagi jemaat yang didirikanNya, ketika muridNya mengakui Dia sebagai Mesias (Al Masih), “Di atas wadas ini akan kudirikan jemaatKu, alam maut tidak mampu menguasainya”, sabdaNya (Mat 16:18). Umat yang mengikutiNya tidak akan terkalahkan oleh maut(kekuasaan iblis), itulah kemenangan yang dijanjikan Isa AlMasih.
Rasul Paulus juga menyebarkan ajaran kemenangan yang dijanjikan Isa AlMasih itu; “Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita” (Roma 8:37), kata Rasul Paulus. Dalam terang injili inilah, sepantasnya umat Kristiani turut bersuka-cita atas kemenangan yang dicapai saudara Muslim.
2. Bermaaf-maafan (saling mengampuni). Pada awal perayaan Idul Fitri biasanya saudara-saudara Muslim melakukan ibadah shalat Ied, dilanjutkan dengan, saling bersalam-salaman, bermaaf-maafan, saling mengampuni kesalahan yang telah dilakukan sebelumnya. Medsos juga dipenuhi ucapan “mohon maaf lahir dan batin.”
Setelah menjalani puasa penahanan emosi, nafsu amarah, pikiran kotor, ujaran kebencian, kini saatnya saling memaafkan, kembali ke fitri, tidak berdosa, oleh sebab itu wajib saling mengampuni.
Prespektif Kristiani: Bukankah umat Kristiani yang notabene murid-murid Kristus diajarkan untuk saling mengampuni sesama? Ajaran kasih dan pengampunan tidak dipisahkan oleh Isa AlMasih. Perilaku mengasihi dan mengampuni itu adalah sejalan. Mengampuni sesama adalah syarat menerima pengampunan dari Allah, demikian ajaran Isa AlMasih. “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu”(Mat 6:14-15).
Para Rasul Isa AlMasih juga memahami dan menyebarkan ajaran itu, “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu (Ef 4:32).
Oleh sebab itu mengampuni adalah tindakan yang tidak terpisahkan dari mengasihi sesama, dan merupakan tindakan yang menjadi syarat untuk mencapai kemenangan dari Allah.
3. Silaturahmi (persaudaraan sejati). Setelah menyelesaikan puasa, biasanya umat Islam bersalam-salaman, saling mengunjungi dimulai dari kunjungan ke orang tua, tetangga, bersilaturahmi dengan sesama teman sepekerjaan, dan teman lainya, baik seagama maupun di luar komunitas seagama. Akan marak acara halal bil halal di kantor-kantor, kawasan pemukiman, RT-RT, dll. Semua lapisan masyarakat larut dalam suasana silaturahmi, persaudaraan sejati, semua setara, tanpa dibedakan oleh status, semua bersalam-salaman tanpa dibatasi oleh perbedaan apapun.
Persaudaraan sejati hanya dapat dicapai dengan saling menghargai, tidak merasa lebih superior dari yang lain, persaudaraan sejati dapat dicapai dengan kerendahan hati. Bukankah Isa AlMasih dan para rasulNya mengajarkan agar murid-murid mengasihi sabagai saudara? Isa AlMasih sendiri menyebut pelaku kehendak Allah sebagai saudara, “Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku,” sabda Isa AlMasih.
Para rasul mengajarkan bahwa para pengikut Isa AlMasih adalah bersaudara, tidak ada perbedaan ras, golongan, asal-usul, semua sudah dimerdekakan oleh Isa AlMasih dari dosa, “ …janganlah ia kurang disegani karena bersaudara dalam Kristus, melainkan hendaklah ia dilayani mereka dengan lebih baik lagi, karena tuan yang menerima berkat pelayanan mereka ialah saudara yang percaya dan yang kekasih” (1 Tim 6:2). Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun! (Mazmur 133:1). Itulah diantara nilai spritualitas yang dapat dipetik umat Kristiani dari perayaan Idul Fitri umat Muslim.
Menyaksikan umat Muslim yang merayakan Idul Fitri, alangkah baiknya umat berefeksi diri; marilah mencapai kemenangan dengan menguasai nafsu (menguasai diri), hendaklah saling memaafkan (mengampuni) atas kesalahan sesama, dan hendaklah memandang orang lain sebagai saudara yang bermartabat setara.
Mari kita juga bersilaturahmi, saling mengampuni bersama saudara kita yang telah mencapai kemenangan. Semoga semua umat religius di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bhieka tunggal ika, berdasar Pancasila dan UUD 1945 ini, mampu menjalin persaudaraan sejati yang saling membangun sesama, sehingga bangsa kita menjadi teladan kerukunan, kemakmuran dan kedamaian di dunia.
TUHAN memberkati orang-orang yang berkehendak baik.
Salam Damai.
Selamat merayakan Idul Fitri.
Sidoarjo, 15 Juni 2018.