Website Resmi Forum Kerukuman Umat Beragama Kabupaten Sidoarjo

Toleransi umat beragama: Menghormati Mayoritas Dan Menyayangi Minoritas

Oleh :
H. KASNO SUDARYANTO
Sekretaris FKUB Jawa Timur

Disampaikan Pada :
PERTEMUAN GENERASI MUDA UMAT BERAGAMA
PROVINSI JAWA TIMUR
2014

Toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu tolerare yang artinya menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda. Sikap toleran tidak berarti membenarkan pandangan yang dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak asasi para penganutnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, toleransi dimaknai sebagai bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Indonesia sebagai bangsa yang besar dan terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras dan golongan, tentunya sangat perlu memiliki sikap toleran. Dalam hubungannya dengan agama, toleransi menjadi sesuatu yang sangat penting. Dalam pandangan saya, toleransi beragama dapat dibagi dalam enam indikator. Pertama, saling menerima keberadaan umat beragama lain. Dua, mengerti kebutuhan beragama lain. Ketiga, percaya dan tidak saling mencurigai antar sesama umat. Empat, ada kemauan untuk tumbuh dan berkembang bersama. Kelima, rela berkorban untuk kebaikan bersama. Terakhir yaitu keenam, mengedepankan nilai-nilai ajaran universal agama (kejujuran, kedamaian, menghormati, taat pada pimpinan/ pemerintah).

Di Indonesia ada enam (6) agama yang diakui yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa agama dengan penganut terbanyak adalah Islam. Agama Islam menjadi agama mayoritas di negeri ini. Dengan demikian, lima agama lainnya akan dianggap sebagai agama minoritas. Adanya perbedaan antara mayoritas dan minoritas inilah yang biasanya sering menimbulkan gesekan dan problema di kalangan para umat.

Minoritas biasanya akan mendapat diskriminasi dari yang mayoritas. Hal seperti itulah yang dilarang. Dalam hukum universal, terdapat aturan-aturan atau ketentuan yang melindungi hak-hak minoritas. Ketentuan tersebut antara lain termuat dalam:

  • Piagam PBB 1945 (pasal 1 dan 55).
  • DUHAM 1948 (pasal 2).
  • Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1966 (pasal 2).
  • Konvensi ILO tentang Diskriminasi berkenaan dengan Jabatan dan Pekerjaan No. 111/1958 (pasal 1).
  • Kovenan Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras 1965 (pasal 1),
  • Konvensi UNESCO tentang Anti Diskriminasi dalam Bidang Pendidikan 1969 (pasal 1).
  • Deklarasi UNESCO tentang Ras dan Prasangka Ras 1978 (pasal 1, 2, dan 3).
  • Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama dan
  • Kepercayaan 1981 (pasal 2); dan Konvensi Hak Anak 1989 (pasal 2).

Ketentuan non diskriminasi juga terdapat dalam dokumen regional tentang hak asasi manusia, seperti;

  • Konvensi Eropa tentang Perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan Dasar.
  • Piagam Sosial Eropa dan Rancangan Konvensi Bangsa-Bangsa Minoritas (Dewan Eropa).
  • Dokumen Pertemuan Kopenhagen mengenai Konperensi tentang Dimensi Manusia dari Organisasi Keamanan dan Kerja sama di Eropa.
  • Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia (Organisasi Negara-negara Amerika).
  • Piagam Afrika tentang Hak Manusia dan Masyarakat (Organisasi Persatuan Afrika).

KEDUDUKAN TOLERANSI DALAM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Toleransi mempunyai kedudukan yang penting dalam terwujudnya kerukunan umat beragama. Tanpa toleransi maka kerukunan umat beragama tidak terwujud. Dalam toleransi perlu adanya saling pengertian, saling menghormati, serta saling menghargai kesetaraan dalam me-ngamalkan ajaran agamanya. Toleransi ini dapat dibagi menjadi beberapa tahapan atau strata yaitu:

  • Zero Tolerance

Masyarakat yang masuk dalam kategori ini pada umumnya belum mampu menjadikan toleransi sebagai kebajikan, sebagaimana terjadi di Inggris. Demian pula, tidak mempunyai kesepakatan yang mampu menyadarkan mereka tentang pentingnya toleransi, sebagaimana terjadi di Perancis. Toleransi sebagai a virtue dan modus vivendi sama sekali tidak muncul ke permukaan. Contoh yang paling nyata adalah Sudan dan Rwanda. Kedua negara ini senantiasa berada dalam ancaman intoleransi, karena tidak mempunyai modal toleransi, baik secara kultural maupun struktural

  • Relatif Tolerance

Pada umumnya, negara-negara modern sudah masuk dalam kategori ini, karena mereka mempunyai kesepakatan atau kebijakan publik yang secara eksplisit menjadikan toleransi sebagai bagian terpenting dalam paket domokratisasi. Tugas membangun toleransi bersifat top down, dipaksakan dari atas ke bawah.

  • Active Tolerance

Masyarakat yang masuk dalam kategori toleransi aktif (active tolerance). Kategori ini, harus diakui merupakan kategori terbaik dan paling ideal, karena toleransi telah menjadi nalar dan tingkah laku setiap individu. Masing-masing kelompok memahami dengan sangat baik, bahwa toleransi merupakan kebajikan dan hak setiap individu. Nalar mayoritas-minoritas dikubur hidup-hidup dan digantikan dengan paradigma kesetaraan.

Di samping itu, toleransi sebagai kebajikan juga diperkuat oleh kebijakan publik yang secara nyata mendorong dan membumikan toleransi. Negara-negara yang menerapkan multikultural sebagai kebijakan publik, pada umumnya merupakan contoh paling baik.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, tentu saja masalahnya tidak kalah rumit. Hal ini karena potensi untuk menjadi zero-tolerance dan active tolerance sama-sama ada. Sejauh ini, negara kita bisa dikatakan sebagai relative tolerance, karena mempunyai kebijakan publik yang mewadahi kerukunan dan toleransi. Salah satunya dengan membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

FKUB terbentuk dengan didasarkan dari Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Peran strategis FKUB dan generasi mudanya dalam memelihara, memantapkan dan mengembangkan toleransi adalah sebagai berikut:

  • Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat.
  • Menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat.
  • Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur dan bupati/walikota.
  • Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat.
  • Memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat (khusus FKUB Kab./ Kota).

(editing by NDA)