Website Resmi Forum Kerukuman Umat Beragama Kabupaten Sidoarjo

Peluang dan Tantangan Hidup Berdampingan antar Umat Beragama

Oleh :
M. Idham Kholiq
Sekretaris FKUB Kab. Sidoarjo

Disampaikan dalam FGD Penguatan Jaringan Kerukunan Umat Beragama Tingkat Kecamatan se-Kabupaten Sidoarjo

Pasca reformasi 1998 hingga sekarang kita sering melihat berbagai persoalan yang mengoyak-oyak sendi-sendi persatuan bangsa. Fenomena tersebut antara lain munculnya konflik-konflik di daerah seperti Poso, Ambon, perang antar suku di Papua, konflik antar desa di NTB dan lain-lain. Juga munculnya konflik antar warga karena persaingan dalam pemilihan Kepala Daerah, serta berbagai konflik. Selain itu, marak pula “kegandrungan” sekelompok masyarakat memamerkan paham-paham sosial-keagamaan yang berhaluan (garis) keras. Aksi-reaksi atas kegandrungan ini telah memantik potensi kerawanan di tingkat masyarakat dan bangsa.

Apa makna fenomena ini? Secara umum, berbagai dinamika seperti ini mencerminkan meningkatnya tuntutan partisipasi warga masyarakat dalam berbagai segi kehidupan. Reformasi politik 98 memang membuka peluang seluas-luasnya bagi peningkatan partisipasi warga masyarakat dalam bidang social politik. Meningkatnya partisipasi warga-masyarakat seperti ini bisa menjadi sisi positif bagi pembangunan demokrasi bangsa. Meningkatnya tuntutan partisipasi warga memang bisa menjadi positif jika bisa dikelola dengan baik, di dalam sendi-sendi persatuan bangsa di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun peningkatan partisipasi warga justru bisa melemahkan keberadaan NKRI jika telah mengkoyak-koyak persatuan dalam kebhinnekaan.

Selain peluang meningkatnya partisipasi warga masyarakat, angin keterbukaan yang dibawa reformasi juga membuka pintu secara terbuka bagi masuknya berbagai pemikiran baru, paham-paham baru bahkan ideologi-ideologi lain yang belum dikenal sama sekali di alam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Bila berbagai pemikiran baru tersebut tidak bertentangan dengan nilai dan sendi-sendi kebangsaan, tentu tidaklah mengkhawatirkan. Jika sebaliknya, pastilah situasi ini sangat membahayakan sendi kehidupan sosial bangsa, serta berpeluang mencabik-cabik tegaknya NKRI. Lalu apa yang harus dilakukan?

Mensikapi berbagai fenomena tersebut, peran negara memang harus diperkuat. Pertama, memperkuat peran dalam menyelesaikan berbagai konflik di tingkat warga. Kedua, memperkuat daya untuk “membunuh” tumbuhnya pengaruh negatif paham-paham yang membahayakan ideologi bangsa.

Di aras warga masyarakat, apa yang harus dilakukan ? Tidak ada jalan lain bagi warga masyarakat, harus meningkatkan daya tangkal atas potensi bahaya tersebut. Daya tangkal yang paling bagus adalah meningkatkan daya “immune” masyarakat terhadap berbagai kekuatan yang bisa merusak persatuan bangsa. Apa daya “immune” masyarakat? Daya immune masyarakat harus kita temukan di dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat itu sendiri.

KONSEP DASAR KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Sejarah bangsa Indonesia tidak terlepas dari nilai-nilai dan ajaran agama-agama di dalam membentuk masyarakat. Agama telah menyatu dan membentuk peri kehidupan sosial, adat-istiadat serta nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Kekuatan agama juga telah menyatukan diri bersinergi dengan kekuatan-kekuatan etnis dalam meletakkan pondasi bangsa, meramunya menjadi nilai-nilai dasar bernegara, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan inilah, bangsa Indonesia telah bersepakat untuk mencapai tujuan bersama untuk mencapai kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial bagi bagi bangsa Indonesia melalui persatuan bangsa, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis secara politik. Dengan demikian, pada saat kekuatan-kekuatan agama ini bersatu-padu dalam tujuan yang sama, terbukti mampu hidup berdampingan dan bersama-sama menegakkan NKRI. Inilah daya “immune” bangsa kita, yaitu persatuan dan kerukunan umat beragama dalam bernegara untuk mencapai tujuan bersama.

Kerukunan Umat Beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Definisi di atas mengandung beberapa konsep kunci. Pertama, kerukunan yang dimaksud dibangun (oleh) umat beragama yang berbeda-beda agamanya, yang dilandasi toleransi dan kesetaraan. Toleransi merupakan sifat atau sikap saling menghormati perbedaan yang ada (terhadap sesama). Sedangkan setara adalah sama kedudukannya (dalam pengamalan ajaran agamanya). Kedua, adalah kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bagian pertama mensiratkan keharusan untuk memiliki pemahaman bahwa hubungan yang dibangun dilandasi kesadaran sebagai umat yang berbeda-beda agama dan keyakinan. Tentu saja perbedaan ini tidak bisa disama-samakan, karena menyangkut keimanan yang transenden bersifat vertikal, termasuk di dalamnya adalah cara masing-masing beribadah kepada Tuhan. Maka yang dikembangkan adalah toleransi. Setiap penganut agama harus mengimani keyakinan agamanya, namun ia harus mengakui bahwa ada orang lain yang memiliki iman berbeda.
Sedangkan bagian kedua, bisa dijelaskan bahwa tuntutan untuk bekerjasama adalah orang-orangnya, dan hal dikerjasamankan adalah amal perbuatan yang bersifat sosial, bukan dikerjasamakan dalam urusan ke-tauhidan dan peribadatan. Dalam persoalan ini berlaku kaidah “bagimu agamamu bagiku agamaku”. Serta di dalam kesamaan sebagai bangsa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

TANTANGAN UNTUK RUKUN DAN HIDUP BERDAMPINGAN

Secara normatif, kewajiban untuk saling menghormati antar sesama, senantiasa diajarkan dan diperintah oleh agama. Bisa dipastikan agama-agama (khususnya) di Indonesia tidak ada satupun yang memerintahkan kepada umatnya untuk saling memusuhi dan berbuat kejahatan kepada lainnya.

Dalam ke-Tauhidan Islam, konsekuensi ke-imanan seorang muslim ditetapkan dalam dua ranah. Pertama, kewajiban untuk melaksanakan amal-perbuatan vertikal berupa ibadah bersifat transenden (ubuddiyah mahdhah) kepada Allah SWT. Kedua, kewajiban berbuat baik kepada sesama yang bersifat horizontal. Di dalam kaidah Islam ‘ala ahlus sunnah wal jama’ah hubungan sesama manusia secara horizontal, diatur dalam hubungan sebagai sesama muslim, hubungan sesama bangsa, serta hubungan sama-sama sebagai umat manusia. Dalam membangun kerukunan umat beragama dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, maka berlaku kaidah hubungan sebagai sesama manusia dan hubungan sebagai sesama bangsa Indonesia.

Dalam hubungan sebagai sesama manusia maka berlaku hak-hak sebagai mahluk Allah SWT (haq al adamy), yaitu tidak boleh mendengki, menyakiti, menumpahkan darah, mengambil hak milik tanpa sebab yang diperbolehkan hukum dan lain-lain. Intinya terletak pada kewajiban saling menghormati. Al-Qur’an menjaminkan bahwa semua manusia dihadapan Allah SWT adalah sama, tidak ada perbedaan di antara mereka, yang terbaik amal-ibadahnya dan ketaqwa-annya dihadapan Allah SWT.

Sedangkan dalam urusan sesama bangsa, berlaku kaidah bahwa setiap muslim wajib melindungi, memelihara wilayah suatu negeri dimana terdapat hak beribadat di dalamnya. Melindungi, memelihara serta menghormati suatu negeri termasuk di dalamnya adalah warga negeri serta adat dan harta kekayaannya.

Para ulama salafus shalihin menegaskan bahwa mencintai negeri adalah sebagian dari iman. Pada awal keberadaan NKRI, para ulama telah bersepakat untuk mengakui keberadaan NKRI secara sah berdasarkan syari’at karena hukum ad-dhururi bi al-syaukah. NKRI juga ditetapkan sebagai negeri Daarus salam yang harus dipertahankan dan dipelihara karena dasar adanya akad perjanjian dengan ditetapkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara, dimana umat Islam dan umat agama lainnya saling menghormati agama masing-masing serta kebebasan menjalankan (ibadah) sesuai keyakinan masing-masing (UUD’45). Kesimpulannya, bagi umat Islam di Indonesia sudah tidak ada lagi perselisihan terkait hubungan antara Islam dan bangsa dan Negara, yang di dalamnya mengandung masing-masing hak dan kewajiban.

Bagaimana dengan umat agama selain Islam? Di dalam iman Kristiani, terdapat ajaran untuk kasih kepada sesama. Pengertian sesama tentu saja bukan dalam pengertian sesama umat Kristiani, namun sesama adalah sesama manusia. Dalam ajaran agama Budha, setiap umat Budha diwajibkan melakukan dharma, sebagai amal perbuatan yang baik. Dharma harus dijalankan kepada sesama manusia, Dharma kepada mahluk Tuhan lainnya seperti binatang, tumbuhan bahkan alam semesta. Demikian juga ajaran Agama Hindu, tentu tidak ada perbedaan dalam ajaran normatifnya.

Menukil salah satu bagian di dalam kitab suci umat Kristiani, Yesus mengatakan bahwa guru-guru agama (kristiani) harus dinilai sesuai dengan kualitas hasil ajarannya…………. “bahwa pohon yang baik itu bisa dibedakan dengan pohon yang buruk dilihat dari kualitas buah yang dihasilkannya”…… Dalam bahasa lain bisa dikatakan bahwa dalam iman kristiani melihat seseorang baik atau buruk juga dilihat dari amal perbuatannya. Seorang Kristiani dengan demikian tidak mengatakan dirinya lebih baik dari seorang Muslim, hanya lantaran dirinya seorang Kristiani.
Demikian juga ajaran Katholik, Hindu atau Budha pastilah tidak berbeda. Secara normatif, agama-agama ini memiliki titik persetujuan yang sama bahwa buah sebagai amal perbuatan itulah yang membedakan baik-buruknya seseorang dalam beragama.

Jika tiap-tiap ajaran agama dijalankan oleh masing-masing umat beragama, maka keharmonisan hidup sesama manusia pastilah terbangun. Namun bagaimana kita menjelaskan adanya berbagai konflik sosial yang melibatkan dimensi agama? Bagaimana bisa terjadi pertumpaan darah di Poso, Ambon dll dimana masing-masing kelompok saling bunuh dengan mulut menyebut kebesaran Tuhan masing-masing, dan mengklaim tindakan masing-masing untuk memperjuangkan agama. Atau contoh lain tentang kesulitan bagi umat minoritas mendirikan rumah ibadat. Di Jawa orang Kristiani (mungkin) mengalami kesulitan memperoleh izin mendirikan Gereja. Demikian juga umat Islam di NTT (mungkin) mengalami kesulitan memperoleh izin mendirikan Masjid. Di Jawa berkembang istilah Kristenisasi, sedangkan di daerah Papua atau Flores berkembang istilah Islamisasi.

Merujuk pada gambaran di atas, jelas menandakan perilaku yang tidak baik tersebut bukanlah ajaran agama. Mungkin berbagai konflik bermuatan agama tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor non agama, seperti ketimpangan ekonomi, ketersinggungan sosial, perselisihan politik atau sebab-sebab lainnya. Namun dalam kepentingan membangun kerukunan umat beragama, bagaimana konsep agama mencari jalan keluar berbagai konflik tersebut.

Memang terdapat kenyataan dimana pengikut tiap-tiap agama itu menganggap agamanya sendiri paling benar dan paling unggul dari agama yang lain. Ini adalah keadaan yang sulit dihindari karena tiap-tiap pengikut agama dituntut untuk total mengimani agama masing-masing sebagai konsekuensi ke-tauhidan (teologis). Seorang beragama ketika meyakini ke-imannya, maka ia dituntut untuk mengakui secara total (kaffah) ke-imanan-nya tersebut sebagai yang paling benar, sehingga hanya “akan” mengakui agamanya sebagai agama yang paling benar, sedangkan lainnya pastilah dianggap salah. Demikianlah memang kenyataannya. Apalagi kewajiban setiap penganut agama untuk menyebar luaskan agama masing-masing melalui dakwah agama, biasanya menjadikan hubungan antar umat beragama semakin memburuk penuh kecurigaan satu sama lain.

Secara teoritis, masalah seperti ini harus ditanggulangi dengan pengembangan sikap toleransi. Namun apa dasar pijakan bangunan toleransi umat beragama dan implementasinya? Kita perlu belajar kepada sejarah agama-agama, bahwa sejarah kelahiran agama bagi manusia selalu bersumber dari kebenaran Tuhan, yang diajarkan kepada manusia lewat para Utusan-Nya melalui wahyuNya yang suci. Jika agama adalah jalan kebenaran dari Tuhan, maka tiap-tiap agama melalui cara dan keyakinan masing-masing tentunya akan sampai kepada TuhanNya, apakah itu melalui Jalan Islam, Nasrani, Budha, Hindu dll. Jika sebelum Islam diturunkan melalui Rasulullah SAW, telah ada Nasrani, atau Hindu, atau Budha, maka umat Nasrani, Hindu atau Budha tentunya perlu dipahami bahwa mereka yakin bisa mencapai kebenaran TuhanNya dengan jalan yang mereka yakini. Oleh karena itu, pada dakwah Islam yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW dilakukan tanpa menyakiti orang Nasrani, Orang Majusi atau lainnya. Islam menegaskan bahwa keyakinan akan suatu agama adalah hidayah Allah SWT, tidak ada kekuatan lain yang bisa mengubah keyakinan seseorang selain hidayahNya. Maka tidak ada paksaan bagi suatu agama.

Dalam ajaran Kristen diterangkan …….“Tidak ada jalan bagi murid-murid Yesus untuk mengetahui Yesus, kecuali melalui kehidupan manusia, dimana Yesus itu hidup di antara manusia. Tidak ada jalan lain untuk sampai kepada makna yang paling dalam dari apa yang tersimpan di dalamnya, kecuali dengan merefleksikan kepada apa yang dapat dilihat nyata dan dapat didengar serta dapat dirasa dan tanpa dapat disentuh……….”. Dalil ini menjadi jalan bagi pengajaran iman Kristiani dalam membangun hubungan antara umat Kristiani dengan umat non Kristiani, bahwa sesungguhnya dunia ini perlu dipahami kenyataannya adalah majemuk. Ia berisi tidak hanya umat Nasrani, namun juga terdapat umat Islam, ada umat Hindu dan lainnya, yang masing-masing telah memilih jalan berbeda untuk sampai kepada kebenaran Tuhan.

Inilah subtansi toleransi itu, bahwa kita harus memegang teguh keyakinan agama kita, namun mengakui terdapat orang lain yang telah meyakini jalan berbeda dalam menuju kepada Tuhannya. Maka harus disepakati bahwa perbuatan menarik pemeluk agama lain untuk masuk ke dalam agama tertentu seharusnya dilarang. Termasuk usaha-usaha membatasi kehidupan seorang yang beragama agar bisa ditarik ke dalam agamanya, atau usaha-usaha lain dalam rangka menambah jumlah pemeluk agamanya dengan cara menarik orang yang beragama lain merupakan cara yang tidak benar karena bertentangan dengan prinsip toleransi. Bisakah seorang pemeluk suatu agama benar-benar meyakini bahwa masuknya seseorang ke suatu agama tertentu semata-mata karena hidayah dan kehendak Tuhannya ? Maka seorang muslim yang taat, harus yakin bahwa untuk menjadi seorang muslim yang baik, tidak harus dilakukan dengan menghalang-halangi suatu agama untuk berkembang. Demikian juga seorang kristiani, untuk membesarkan agamanya tidak harus dilakukan dengan menarik-narik umat agama lain untuk masuk dalam agama Kristen.

PENDIRIAN RUMAH IBADAT

Pendirian rumah ibadat juga menjadi persoalan penting ketika berbicara tentang kerukunan umat beragama, dan menjadi tantangan tersendiri dalam hidup berdampingan. Meskipun terdapat banyak contoh tentang kemampuan hidup berdampingan dan harmoni dalam perbedaan, misalnya Masjid Istiqlal di Jakarta yang berdampingan dengan Gereja (Katholik) Katedral. Juga berita yang berkembang tentang saling bantu antara umat Kristiani dengan Umat Islam di Manado dalam membangun rumah ibadat, dan lain-lain. Namun urusan pendirian rumah ibadat jauh lebih banyak menimbulkan masalah dan konflik antar satu umat agama dengan umat agama lain.

Umat minoritas di suatu daerah selalu merasa was-was dan penuh kecurigaan bahwa izin mendirikan rumah ibadat pasti dihalang-halangi oleh umat mayoritas. Maka pendirian rumah ibadat harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan “ngakali” aturan atau posedur. Mereka memahami pelaksanaan aturan tidak lebih dari sekedar siasat kelompok mayoritas untuk menghalang-halangi dan pasti berakhir dengan kegagalan. Maka umat minoritas selalu merasa di-dzalimi. Di sisi lain, kelompok agama mayoritas di suatu wilayah selalu khawatir dan curiga bahwa pendirian rumah ibadat di wilayahnya selalu digunakan sebagai siasat untuk menyebarkan agama bersangkutan dan menarik warga setempat untuk masuk ke agamanya. Kelompok mayoritas menganggap kelompok minoritas adalah pihak-pihak yang cukup piawai dalam berlindung di balik kebebasan beragama, padahal mereka selalu melakukan berbagai cara yang tidak terpuji dalam menyebarkan agamanya. Bukankah situasi ini merupakan bom waktu karena memendam pontensi konflik yang tidak terselesaikan ?

Ketentuan-kententuan mengenai pendirian rumah ibadat, telah diatur melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 09 dan 08 Tahun 2006. Dalam Peraturan tersebut, yang dimaksud dengan rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Bagi umat Islam, rumah ibadat permanen itu adalah Masjid, Gereja untuk umat Kristiani, Pura untuk Hindu dan Wihara untuk umat Budha. Sedangkan yang dimaksud rumah ibadat keluarga antara lain Mushala, langgar, surau atau lainnya bagi umat Islam. Setingkat dengan itu, adalah rumah do’a bagi umat Kristen, atau kapel bagi umat Katholik dll.

Pendirian rumah ibadat permanen, harus memenuhi syarat khusus antara lain; telah memiliki jemaat (pengguna) paling sedikit 90 (Sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah, mendapat dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.

Sering terjadi kekeliruan dan kesalah pahaman antar pihak dalam memahami kategori-kategori ini. Seorang umat Kristen biasa mengeluhkan banyaknya tempat ibadat orang islam di desa-desa, berjajar-jajar dan berdekatan satu-sama lain tanpa mempertimbangkan jumlah jemaat. Sementara baginya betapa sulit mendirikan gereja dengan alasan belum mencukupi jemaat hingga 90 orang. Pandangan ini jelas keliru karena tidak semua bangunan rumah ibadat muslim adalah Masjid. Banyak diantaranya yang berada di desa-desa adalah mushala yang dikategorikan sebagai rumah ibadat keluarga, dan tidak merupakan rumah ibadat permanen. Sementara orang Islam juga sering keliru menyamakan rumah do’a sebagai gereja. Sehingga tidak sedikit umat Islam yang mengeluhkan rumah jemaat Kristen yang dianggap dipergunakan sebagai gereja. Kekeliruan ini bisa jadi memang ketidakpahaman mengenai peraturan yang berlaku, atau mungkin sudah disusupi perasaan penuh curiga dan tidak adanya saling menghormati dan toleransi.

Mencermati secara seksama isi Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam negeri Nomor 09 dan Nomor 08 Tahun 2006, sesungguhnya sarat dengan semangat toleransi. Misalnya pada pasal 13 ayat (1) disebutkan “Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa”. Ruhnya adalah kesadaran dan kejujuran tentang kebutuhan yang nyata-nyata. Sesuai pasal 14, kebutuhan nyata itu setidak-tidaknya betul-betul memiliki jemaat paling sedikit 90 orang. Artinya, jika memang belum mencukupi 90 orang, maka tidak perlu memaksakan diri untuk mendirikan rumah ibadat (permanen).

Misalkan umat Islam di suatu wilayah tidak memiliki paling sedikit 90 orang jama’ah, maka ia tidak perlu memaksanakan mendirikan Masjid. Jika butuh menjalankan Shalat Jum’at, maka ia bisa memiliki berjama’ah di Masjid lain terdekat. Demikian juga bagi umat Kristiani, bilamana belum memiliki jemaat paling sedikit 90 orang, tidaklah perlu memaksakan diri untuk mendirikan rumah ibadat permanen. Memanfaatkan rumah do’a tentu lebih tepat. Sedangkan kebutuhan untuk beribadat seperti misa atau lainnya, bisa menginduk di gereja terdekat yang masih dalam satu sinode. Sekali lagi itikad ini adalah wujud dari toleransi dan saling menghormati umat beragama lain. Jika telah memenuhi jemaat 90 orang, maka setiap kelompok agama, dianggap telah memiliki hak untuk mendirikan rumah ibadat. Tinggal sejauhmana proses pendirian rumah ibadat itu telah mengikuti ketentuan yang berlaku, seperti tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentraman umum, seerta sejauhmana mematuhi peraturan peundang-undangan –Pasal 13 ayat (2)– .

AKHIRUL KALAM

Hal terpenting dalam membangun kerukunan umat beragama adalah toleransi. Mengembangkan toleransi dalam hubungan sesama umat beragama dengan cara mengakui adanya perbedaan, namun menghormati kebenaran agama orang lain berdasarkan keyakinan masing-masing adalah pertanda harmoni dalam perbedaan. Artinya kita bisa hidup berdampingan satu sama lain, dengan tetap menyadari adanya perbedaan. Tantangan memang ada terutama bersumber dari tafsir atas teks agama itu sendiri.

Maka tantangan terletak sepenuhnya kepada pengajaran agama itu sendiri, apakah agama diajarkan dalam tafsir bagi kesadaran untuk saling menghormati ataukah untuk saling bermusuhan satu sama lain. Jika bangunan kerukunan umat beragama itu telah berdiri kokoh, ia menjadi daya immune yang bisa menangkal berbagai kepentingan yang bisa mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa. Maka kita telah siap untuk saling bekerja sama meraih kemajuan sosial melalui sendi-sendi agama, di dalam kerangka kebangsaan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amiin.

Editing by NDA