Opini M Idham Kholiq Untuk Komnas HAM Terkait Polemik GP Ansor Sidoarjo Dengan Jamaah Masjid Sholahudin Puri Surya Gedangan
Sidoarjo, Selasa—7 Maret 2017
Assalamu’alaikum wr.wb.
Kepada Yth. Sahabat Saya Bpk. M. Nur Khoiron, Anggota Komnas HAM.
Bismillahirramanirrahim. Saya ingin menyampaikan pendapat Saya terkait peristiwa polemik GP Ansor Sidoarjo dengan jamaah di Masjid Shalahudin yang mengundang ustad Khalid Basalamah pada 4 Maret 2017 kemarin. Bahwa terjadi berbagai pendapat yang tidak sedap atas sikap sahabat Ansor dan Banser. Saya perlu memberikan gambaran dalam sudut pandang sebagai orang yang lahir dan besar di Sidoarjo, dari leluhur saya juga Sidoarjo, sehingga saya mengerti bagaimana suasana kebatinan warga Sidoarjo pada umumnya.
1. Bahwa kejadian tanggal 4 Maret 2017 bukanlah peristiwa yang tiba-tiba begitu saja dan berdiri sendiri tanpa sebab-sebab yang memengaruhinya. Sebab-sebab inilah yang perlu kiranya diuraikan untuk menjelaskan akar persoalan. Ada latar belakang sosiologis yang memengaruhi peristiwa ini. Secara umum, sejak tahun 2000-an saya merasakan perubahan sosiologis Sidoarjo karena industrialisasi yaitu meningkatnya urbanisasi ke Sidoarjo. Mereka berasal dari latar belakang yang beragam, baik etnis maupun agama. Soal kelompok agama, khususnya Islam, keragaman ini begitu menonjol dengan hadirnya kelompok-kelompok Islam berciri-ciri baju-baju gamis, celana cingkrang, berjenggot, dahi hitam, dan sebagainya. Sebelumnya, di Sidoarjo telah terjalin harmoni antara NU, Muhammadiyah, LDII dan lain-lain bisa hidup berdampingan tanpa ada gesekan. Bahkan biasa bekerja sama dan saling mengundang dalam kegiatan masing-masing. Itu terjalin bertahun-tahun karena prinsip saling menghormati ajaran dan paham masing-masing. Orang-orang NU tidak pernah mengatakan paham Muhammadiyah salah di hadapan warga NU. Namun biasa menyebut bahwa pemahaman orang Muhammadiyah berbeda tapi kita hormati perbedaan itu. Demikian juga orang Muhammadiyah kepada orang NU, dan seterusnya. Masuknya kelompok-kelompok baru ini dalam catatan pengamatan saya tidak sama dengan tata krama dalam perbedaan seperti NU dengan Muhammadiyah, LDII. Biasa saya uraikan sebagai berikut:
a. Adanya sikap yang tidak bijak dengan mengatakan bahwa amalan yang benar adalah yang mereka pahami, sedangkan amaliah-amaliah orang lain itu sesat, dan mereka kita doakan supaya mereka mendapatkan hidayah. Pernyataan-pernyataan seperti ini, jelas menunjukkan sikap yang tidak baik, dan memantik perasaan ketersinggungan. Apalagi sebagian besar warga Sidoarjo yang asli adalah orang-orang pesantren yang sejak kecil belajar agama di pesantren.
b. Sikap dan perilaku orang-orang Islam dari golongan ini sangat nampak antipati kepada orang di luar mereka. Kelompok ini hanya mau berkumpul dengan kelompoknya, menganggap orang lain dengan sikap-sikap tidak hormat. Mereka membangun sekolah-sekolah sendiri untuk anak-anak mereka dan tidak mau bersekolah di tempat lain. Jadi telah mereka bangun batas pemisah sosial antara mereka dengan orang lain. Sikap dan perilaku sosial ini jelas menyinggung suasana kebatinan warga Sidoarjo yang asli karena mereka adalah pendatang. Jadi sikap dan perilaku sosial ini, turut menjadi penyebab potensi konflik.
c. Banyak masjid, musala, milik warga NU, warga Muhammadiyah yang mereka ambil alih. Mereka kuasai, lalu mereka ubah taa cara amaliahnya tanpa menghormati bahwa ada amaliah yang telah dirintis oleh pendiri masjid tersebut, yaitu amaliah NU atau Muhammadiyah. Bahkan banyak masjid yang status kepemilikannya telah beralih dari akad wakaf semula misalnya milik ornagNU atau Muhammadiyah, menjadi status kepemilikan grup secara legal. Lalu mereka menyingkirkan pengurus sebelumnya. Hal-hal ini juga harus diperhatikan sebagai sebab-sebab laten potensi konflik yang mereka ciptakan. Termasuk masjid Shalahudin, awlanya masjid ini terbuka dan untuk umum, siapapun bisa berkegiatan di sana. Saya tahu betul karena satu desa dengan saya. Namun, belakangan ini masjid secara khusus mereka “kuasai”.
2. Pengaruh ceramah-ceramah Khalid Basalamah yang terekam di banyak media, menimbulkan tafsir bahwa Khalid Basalamah bermaksud mencaci amaliah warga NU. Warga Sidoarjo banyak memperbincangkan ceramah-ceramah ini sebelumnya. Oleh karena warga tidak terbiasa mendengarkan sebuah pendapat dalam forum pengajian yang menyebut satu amaliah salah dan berpotensi sesat, serta masuk neraka. Contoh pernyataan Khalid Basalamah di salah satu unggahan Youtube menyebutkan “tidak ada amalan zikir yang macam-macam diajarkan oleh Rasullullah SAW, juga tidak ada doa setelah shalat. Apakah dengan menambah-nambahi kita menganggap lebih pintar dari Rasullullah SAW?”. Di warga NU, jika menerangkan perbedaan akan mengatakan bahwa NU biasa zikir dengan cara ini, sanadnya berdasrkan pendapat ini dan seterusnya, tetapi orang Muhammadiyah tidak seperti berdasrkan pendapat ini. kita tidak usah menyalah-nyalahkan karena sama-sama benar. Jika ada yang salah adalah yang tidak sholat, dan seterusnya. Jadi pendapat Khalid Basalamah telah mengguncang ketentraman beragama warga Sidoarjo. Apakah Khalid Basalamah menyadari dampak yang dirasakan warga??? Maka ketika ada berita Khalid Basalamah hadir di Sidoarjo, reaksi seperti yang dilakukan Ansor adalah spontan dan wajar sebagai orang yang telah tersinggung dan bertumpang tindih dengan suasana kebatinan warga santri di Sidoarjo. Mengapa Khalid Basalamah tidak pernah merasa menyakiti hati orang lain.
3. Bahwa kejadian penghentian itu, diawali dengan negosiasi dengan panitia difasilitasi oleh pihak kepolisian. Bahwa GP Ansor Sidoarjo meminta agar penceramah diganti, yaitu bukan Khalid Basalamah. Isi dan proses negosiasi menandakan Ansor tidak membenci pengajian tersebut, tetapi hanya meminta agar penceramahnya jangan Khalid Basalamah.
4. Pada hari kejadian, GP Ansor Sidoarjo tidak langsung membabi buta membuyarkan pengajian, tetapi hanya meminta agar bukan Khalid Basalamah yang berceramah. Perundingan telah dilakukan terlebih dahulu bersama panitia dan Kapolresta Sidoarjo. Kemudian penghentian dilakukan dengan beberapa kesepakatan yang terjadi tanpa adanya kekerasan. Sebaliknya, ada anggota GP Ansor yang dipukul oleh jemaah dari masjid tersebut.
Demikian gambaran dari saya, untuk dijadikan sebagai penjelasan secara sosiologis.