Kemuliaan tidak pernah Didapat dari Menyakiti Orang
Oleh: Nur Ahmad Syaifuddin
Rentetan penangkapan teroris di beberapa tempat di Sidoarjo ibarat petir di siang bolong. Sangat mengejutkan dan mencuri perhatian banyak pihak, karena selama ini Sidoarjo dikenal dengan kabupaten paling aman.
Meski demikian, ada hikmah yang bisa diambil dari kejadian tersebut. Kita disadarkan bahwa lingkungan kita belum bersih dari aktifitas terorisme.
Masyarakat yang selama ini ramah dengan pendatang seakan diciderai dengan kehadiran mereka yang mencari kesempatan di antara keramahan warga Sidoarjo.
Pola pergaulan para teroris yang mengalami perubahan, dari yang semula menutup diri-berubah membuka pergaulan menjadi faktor misi mereka sulit dideteksi. Artinya, mereka ternyata ada diantara keramahan masyarakat Sidoarjo yang selalu membuka diri dengan orang-orang baru.
Namun, meski sudah membuka diri pasti ada ciri yang tidak bisa disembunyikan. Yakni, rumah mereka tertutup untuk dikunjungi orang-orang selain kelompoknya. Berbeda dengan rumah di kampung yang mempersilahkan tetangga leluasa masuk.
Selaku Ketua Dewan Penasehat FKUB sekaligus Wakil Bupati Sidoarjo sangat prihatin dengan kejadian teror yang terjadi di Surabaya pertengahan bulan Mei ini. Pasalnya, tak hanya warga Surabaya saja yang menjadi korban. Ada warga Sidoarjo yang juga secara tidak sengaja menjadi korban kekejian mereka.
Nuchin (56) warga RT.15, RW 2 Desa Tropodo, Kecamatan Waru, salah satu contoh korban kekejian para teroris di Jalan Arjuno Surabaya. Ia merupakan tulang punggung keluarga yang meninggalkan istri-Pujayati dan seorang anak-Muhammad Ferdi.
Peristiwa bom di Surabaya menjadi contoh betapa kejinya para teroris dan ekstrimis beraksi. Hal itu dikarenakan orangtua tega memasang bom di tubuh anak-anaknya sendiri.
Diakui atau tidak, perbuatannya diluar nalar manusia dan perintah agama yang selama ini mereka jadikan topeng pergerakan mereka. Jika mereka muslim, dalam Islam, saat berperang dilarang membunuh wanita dan anak-anak. Sementara di Surabaya kemarin tidak dalam kondisi perang, tetapi anaknya sendiri dikasih bom dan melukai bahkan membunuh anak-anak dan wanita lainnya.
Jelas, kesalahan mereka yang pertama yakni bunuh diri. Padahal dalam ajaran Islam bunuh diri merupakan perbuatan yang haram dilakukan. Yang kedua mereka tega memasang bom di tubuh anaknya sendiri. Sedangkan yang ketiga, mereka menghilangkan nyawa orang yang tidak pernah bersalah kepada mereka.
Dalam literatur perang Islam pada zaman nabi pun diceritakan, dalam kondisi perang seorang Syidina Ali tak jadi memenggal kepala musuhnya lantaran musuhnya meludahi Syidina Ali. Hal itu dikarenakan Ali khawatir jika ia teruskan memenggal, ia melakukannya lantaran karena kebencian dan bukan karena Allah.
Teroris bukan bagian dari agama, karena kemuliaan tidak pernah di dapat dari menyakiti orang. Sementara itu, agama merupakan media mencari kebaikan di dunia maupun akhirat. Jika menginginkan suatu kebaikan maka harus dilakukan dengan cara yang baik pula.
Indonesia dengan pondasinya sudah final dan tidak bisa diubah. Para pendiri negara sudah melalui proses panjang perjuangan yang akhirnya berbuah pada kesepakatan untuk mendirikan negara sebagai rumah bersama seperti halnya rasullah dengan piagam Madinah.
Tugas kita hanya menjaga, tidak berjuang seperti pahlawan zaman dulu. Saat ini ada golongan yang ingin memecah belah bangsa, padahal mereka tidak pernah ikut berjuang dan merasakan sulitnya menyatukan perbedaan.
Mulai saat ini masyarakat bersama pemerintah dan aparat harus saling bekerja sama untuk aktif mengawasi linkungan. Komunikasi pun diharapkan lebih intensif untuk mempersempit ruang gerak teroris.
Selain itu, harus berkomitmen menjaga kesepakatan para pendiri negara untuk tidak membiarkan pihak-pihak yang ingin mengubahnya. Intinya, pedoman hidup berbangsa dan bernegara tetap mengacu pada Pancasila, UUD 45, dan Bhineka Tunggal Ika.
Penulis merupakan Ketua Dewan Penasehat FKUB Sidoarjo, sekaligus Wakil Bupati Sidoarjo