Kebangkitan Nasional yang Melahirkan Prinsip Kerukunan
Dalam rangka mengingat kembali semangat kebangkitan, FKUB Sidoarjo menggelar dialog bertema Kebangkitan Nasional dan Kerukunan Umat Beragama. Dalam dialog itu membicarakan keterkaitan antara Kebangkitan dan Kerukunan.
Ketua FKUB Sidoarjo M. Idham Kholiq, S.Sos., M.A.P menjelaskan, sebelum muncul Kebangkitan masyarakat Indonesia mengenal banyak suku, agama, dan perbedaan lainnya.
Kemudian, ada gagasan untuk bersatu karena merasa sama-sama sebagai suku yang terjajah. Selain itu ada keinginan untuk bersama-sama melawan penjajahan karena sadar butuh persatuan untuk melawan kolonial.
Dari permasalahan itu muncul Kebangkitan untuk bersatu mengesampingkan perbedaan. Sehingga memunculkan untuk bergerak bersama-sama melawan penjajahan.
Atas dasar kebersamaan itu muncul persatuan yang melahirkan kerukunan, toleransi, dan Kebhinekaan. Kemudian muncul Sumpah Pemuda pada tahun 1928 yang menjadi momen persatuan.
Sumpah itu yang menjadi dasar terbentuknya peran FKUB yang berfungsi menjaga kerukunan. Kerukunan dalam aspek perbedaan agama.
Jika FKUB memiliki misi Kerukunan maka itu menjadi bagian yang dilahirkan oleh Kebangkitan. Dan di FKUB Sidoarjo telah melebihi peran merukunkan umat beragama, tetapi telah berhasil merukunkan suku-suku yang bertempat tinggal di Sidoarjo.
Sementara itu, Wakil Ketua FKUB Sidoarjo Cl. Suratidjan menambahkan, dari sisi keumatan yang dasarnya adalah ketuhanan, maka umat harus sadar dan paham bahwa Tuhan menciptakan perbedaan. Namun, perbedaan tersebut bukan untuk dipertentangkan dan benturkan.
Dari pemahaman itu akan melahirkan sosok umat yang taat kepada Tuhannya. Bercita-cita sama tetapi dengan kodrat yang berbeda-beda. Sehingga akan muncul paradigma bahwa Tuhan memang maha besar.
Nilai-nilai itu akan mendorong lahirnya rasa cinta tanah air, berbuat kebaikan, memiliki rasa kemanusiaan, tolong menolong, dan lain-lain.
Di Indonesia hal itu tercermin dalam peringatan setiap hari besar agama. Contohnya, ada momen halal bi halal yang diikuti oleh semua masyarakat tanpa memandang suku dan agama.
Ada pula prinsip yang dimiliki umat Katholik yang punya 100 persen Katholik 100 persen Indonesia. Serta agama lainnya yang memberikan kesempatan umat lain untuk bisa bersama dalam kegiatan sosial dalam peringatan Hari besarnya.