Kearifan Lokal di antara Trans-nasional
Oleh: Rifaul Doni
Bagi muslim Indonesia, bulan kemerdekaan tahun ini merupakan tongkat estafet ke-73 meneruskan perjuangan Islam rahmatan lil alamin. Islam yang di dalamnya memiliki gerakan mempertahankan kebhinekaan yang memang menjadi mandat keislaman itu sendiri.
Cak Nun dalam paparannya yang masih bisa kita saksikan di channel Youtube, sempat berteriak lantang “aku iki wong jowo.” Respon itu adalah salah satu jawaban saat ia ditanya terkait, haruskah seorang muslim seperti Arab?
Seakan menunjukkan bahwa ia berusaha mempertahankan identitasnya sebagai seorang yang ditakdirkan menjadi etnis Jawa. Selain itu, ia ingin menjalankan amanat Tuhan berupa takdir sebagai etnis di muka bumi.
Secara tegas pula ia menyatakan tak berani mengubah identitas tersebut seperti orang Arab meski ia adalah muslim. Cak Nun memperjelas dirinya sebagai seorang Jawa yang takut mengubah kehendak Tuhan.
Akhirnya, ia menganalogikan tiga bangsa berbeda yang selama ini menginspirasi orang Indonesia: Arab digarap, Jowo digowo, dan Barat diruwat.
Prinsip tersebut meyakinkan kita bersikap proporsional, atau menyesuaikan tanpa harus menghilangkan. Selain itu, dapat menyaring berbagai hal yang masuk ke Indonesia.
Karena, sebelum budaya luar negeri masuk ke Indonesia, negara kita sudah banyak memiliki budaya dan kearifan lokal yang terbentuk sejak dulu. Intinya, sebenarnya budaya-budaya di Indonesia sudah lebih dari cukup untuk kita banggakan.
Saat ini kita butuh sikap dan cara memahami Kebhinekaan yang merupakan tanda kebesaran Allah yang harus dilestarikan tanpa harus dipertentangkan. Cak Nun dapat menjadi teladan yang menjaga bahwa Islam selalu menjadi ramat bagi semua perbedaan atau kebhinekaan.
Karena kita harus yakin, secara filosofis Tuhan menciptakan makhluk dengan berbagai macam perbedaan. Itu pun sekaligus menjadi tanda kebesarannya. Jangan sampai kita memaksaan untuk menjadikan semua sama dengan dalih apapun.
Para pendiri bangsa yang salah satunya pendiri NU pun sepakat bahwa agama dan negara hanya boleh dibedakan, tidak boleh dipertentangkan. Jelas, Indonesia merupakan negara yang terbentuk dari berbagai macam daerah, budaya, dan agama yang dulunya merupakan bangsa-bangsa yang berhasil disatukan karena persamaan nasib sebagai bangsa terjajah.
Selain itu, komitmen dan keinginan bersama mempersatukan dan membentuk sebuah bangsa meski banyak perbedaan di dalamnya. Bangsa ini pun memiliki teladan yakni para pendiri yang harus dicontoh oleh generasi selanjutnya.
Pancasila, satu di antara hasil kesepakatan para pendiri yang hanya 5 sila, namun memiliki makna universal secara regius, etnis, sosial, budaya, dan berbagai hal menyangkut identitas keindonesiaan. Pancasila juga gambaran Indonesia dulu, sekarang, dan akan datang.
Seolah menjadi kristalisasi kepentingan seluruh masyarakat yang legowo demi persatuan dan keinginan mendirikan bangsa yang besar. Bangsa yang dapat menjadi contoh dalam penanaman hidup damai dengan berbagai macam identitas. Mengubah ego sektoral menjadi ego nasional.
Tantangan Trans-nasional
Saat ini ada tantangan yang harus dijawab oleh sikap keindonesiaan anak-anak bangsa. Karena tantangan itu merupakan bagian dari kepentingan trans nasional yang berusaha menghilangkan perbedaan karena ingin menyatukan dengan keinginan dan kepentingan mereka.
Produk trans-nasional itu bukan hanya menyerang konstitusi negara, melainkan berbagai aspek kehidupan berbangsa dan berbhineka.
Pada 2015, misalnya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantio mengingatkan bahwa Indonesia akan menjadi perebutan negara-negara asing dalam peta konflik dunia yang dilatari persoalan penguasaan energi dunia, (CNN Indonesia, 21/8/2018).
Sebagai kader NU yang sejak awal dididik bersikap toleran dan mengayomi sebagai mayoritas, sudah seyogyanya menunjukkan dedikasi dan edukasi. Menjadi agen menyampaikan Islam itu damai kepada masyarakat lintas sektoral.
Pasalnya, kepentingan transnasional akan menggunakan berbagai macam cara untuk mencapai tujuannya. Tak menutup kemungkinan mengadu domba dengan menggunakan isu SARA.
Dedikasi dan edukasi menjadi potensi yang harus ditunjukkan kader NU dalam menjaga kebhinekaan. Karena ke-2 aspek tersebut terintegrasi budaya moderat dan toleran. Prinsipnya yakni menjaga tradisi mengawal NKRI.
Penulis adalah Presiden Mahasiswa Universitas NU Sidoarjo periode 2016-2017.