Website Resmi Forum Kerukuman Umat Beragama Kabupaten Sidoarjo

Harmoni Kehidupan ala Warga Kwadengan

Indonesia adalah salah satu Negara yang mengakui keragaman baik agama, suku, dan budaya. Keragaman ini telah menjadi ciri khas kita dan peluang yang belum tentu dimiliki oleh negara lain.

Akan tetapi, apabila kita lengah maka keberagaman ini justru menjadi batu sandungan bagi kesatuan dan persatuan kita. Suka-duka telah kita lalui bersama, mulai dari merebut kemerdekaan, penumpasan
pemberontakan, hingga berbagai konflik SARA yang sangat memecah belah kita.

Konflik Situbondo pada tahun 1996, konflik Ambon pada tahun 1999, sampai pada konflik Poso pada tahun 2000 menjadikan cermin bahwa Indonesia belum menjadi tempat yang nyaman bagi kaum minoritas seperti kami ini saat itu.

Pada tahun 2000 silam, ada 10 kepala keluarga dari kami yang ingin beribadah bersama di Sidoarjo ini. Akan tetapi, momok konflik tersebut terus membayangi kami. Kami ragu, tetapi kami dengan percaya memulainya dengan beribadah di rumah secara bergantian. Sampai suatu ketika ada orang baik yang datang untuk meyakinkan kami bahwa kami akan aman beribadah di suatu tempat yang bernama Kwadengan.

Hallo Kwadengan, kelurahan di tengah kota yang menjadi satu-satunya pilihan kami untuk tempat bersinggah. Keraguan kami kalian jawab dengan senyuman manis sebagai tanda bahwa kami dan kalian juga bagian dari Indonesia.

Mulanya, beribadah di tempat ini, kami diwarnai kewaspadaan sambil menjaga diri untuk mengantisipasi keadaan terburuk yang sangat mungkin untuk terjadi. Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun-berganti tahun membuat kami semakin yakin bahwa kalian bersedia untuk menerima kami.

Sekian lama kita bersama tetapi tidak ada gesekan di antara kita walaupun di luar sana sangat banyak berita yang mungkin menyayat hati kita bahkan bisa menjadi pemicu perselisihan di antara kita.

Waktu yang telah kita lewati bersama membuat kami belajar dan sadar bahwa masih terjadi kesenjangan sosial di antara kita. Dari berbagai program Gereja yang kami rencanakan, terbersit lah di hati kami oleh karena belas kasih yaitu membantu
kalian yang belum berkecukupan.

Untuk itu, kami mengadakan program bakti sosial
agar dapat sedikit meringankan beban beberapa warga sekitar. Bakti sosial, ditengah kabar miring yang ada, kalian bisa memahami ketulusan hati kami dalam memberi.

Sungguh hal yang sangat luar biasa menurut kami, berfikir positif ditengah kabar negatif. Seakan tak mau kalah, kalian pun mengerti kebutuhan kami, beberapa warung berdiri disekitar lingkungan Gereja. Warung inilah menjadi tempat kami memuaskan
canda-tawa sehabis ibadah.

Di dalam warung itu selain makan dan minum, kami kerap kali bernyanyi bersama. Uniknya, lagu yang kami nyanyikan bukan hanya lagu sekuler melainkan menyanyikan lagu rohani di warung tersebut.

Saat itu kami ragu sebab khawatir akan mengganggu kalian. Akan tetapi, sang pemilik warung memberitahu kami bahwa kami boleh melakukannya dengan bebas. Sungguh, mulai saat itu kami sangat yakin kalian telah menerima kami dengan baik.

Kemudian, ketika adzan berkumandang, kami memiliki inisiatif untuk mengheningkan diri sejenak sebagai bentuk penghormatan kami. Apa yang kami lakukan mendapat apresiasi dari pemilik warung. “Ya memang seharusnya kita demikian” ujar pemilik warung sambil tersenyum.

Ya, relasi ini telah berjalan bertahun-tahun lamanya dan relasi ini harus terus dijaga dengan baik. Benar adanya, bahwa merusak kepercayaan itu sangatlah mudah tetapi membangun rasa percaya itu yang sulit.

Banyak hal yang telah terjadi di antara kita, dan hal itu bukan menjadi pemicu perselisihan diantara kita melainkan menjadi momentum bagi kita untuk saling melengkapi. Selama kami beribadah, kerap kali lahan parkir di dalam lahan LKK tidak mencukupi sehingga beberapa mobil sering terparkir di depan rumah kalian. Puji Tuhan, kalian dengan senang hati mempersilahkan jemaat untuk parkir di lahan yang kosong. Selain itu, biasanya ada seorang yang menjaga parkir kami selama ibadah dan kebetulan beliau adalah seorang Kristen sehingga ketika hari besar seperti Jumat Agung, Paskah, dan Natal beliau tidak bisa.

Saat itu, pemuda sekitar di bawah karang taruna serta beberapa hansip membantu Majelis dalam mengatur parkir sehingga semua Jemaat dapat beribadah dengan tenang. Tak mau kalah, polisi dan TNI setempat serta Banser selalu mejaga kami dari berbagai kemungkinan gangguan.

Banyaknya kegiatan Gereja di malam hari kerap kali mengganggu keheningan malam yang selama ini kalian rasakan. Tidak ada maksud kami mengganggu kalian, dan kami yakin tidak ada maksud kalian untuk membatasi kami.

Oleh karena itu, melalui musyawarah mufakat kita bersepakat atas adanya batas jam malam.
Selama 18 tahun bersama kalian, berbagai hal telah kita lewati bersama, suka maupun duka menjadi pupuk bagi kita untuk menjadi lebih baik lagi.

Gangguan selalu ada datang menerpa, tetapi dapat kita lewati dengan kepala dingin mengedepankan
musyawarak mufakat. Inilah harmoni yang sesungguhnya. Kita hidup berdampingan
dengan rukun dan saling melengkapi.

Sebagai minoritas, tenang berada di tengah-tengah kalian. Adalah hal yang luar biasa bagi kami dan mungkin belum tentu kami dapat di daerah lainnya.

Kini, umur Indonesia telah bertambah. Selayaknya manusia, pertambahan usia menunjukkan perkembangan kedewasaannya. Sudah seharusnya kita lebih dewasa dalam menyikapi segala hal termasuk keragaman yang ada diantara kita.

Di umur yang ke-73 ini, mari kita jauhkan pikiran untuk berselisih atau berseteru karena SARA. Menatap setumpuk potensi yang ada di depan mata kita dengan bekerja, sebab “Kerja Kita adalah Prestasi Bangsa” untuk Indonesia yang lebih baik.

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.