Website Resmi Forum Kerukuman Umat Beragama Kabupaten Sidoarjo

DIALOG UMAT BERAGAMA DALAM PERJUMPAAN IMAN; M. Idham Kholiq – Sekretaris FKUB Sda

 

Apa itu Dialog Umat Beragama ?

Dialog merupakan pertemuan antar orang, yang melibatkan kesamaan visi mengenai suatu perkara. Dialog mermpertemukan beragama berbedaan gagasan dan rencana-rencana tindakan beragam secara bersama. Maka dialog memang dilakukan untuk mempertemukan kesamaan-kesamaan yang dari konsep-konsep yang berbeda. Menemukan kesamaan-kesamaan itulah kepentingan dari agenda dialog.

Sejauhmana kesamaan-kesamaan itu bisa dipertemukan akan mempengaruhi harmoni tidaknya hubungan antar umat beragama. Apa sajakah kesamaan-kesamaan itu ?

Pertama adalah dialog sosial. Merupakan upaya untuk mencari pertemuan-kesamaan tanggung jawab sosial dari tiap-tiap ajaran agama. Secara umum, tiap-tiap umat bergama meyakini adanya kebenaran ajaran agama tentang tanggung jawab sosial. Di dalam teks ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist sarat dengan ajaran-ajran tentang kewajiban dan tanggung jawab sosial bagi umat Islam. Perintah Iman bagi umat Islam selalu diikuti dengan perintah ber-amal sholeh (kebajikan), artinya pengakuan iman kepada Allah SWT bagi tiap-tiap muslim menuntut untuk dibuktikan dengan perbuatan amal-kebajikan. Dalam konteks yang berbalik bisa dipahami bahwa tidaklah sempurna iman tiap-tiap muslim sampai ia bisa berbuat amal-kebajikan. Teks ini menjelaskan bahwa amal-kebajikan itu adalah tindakan yang berdimensi horizontal, menyangkut kepada sesama manusia, kepada lingkungan dan alam semesta, yang masyhur melahirkan konsep agama rahmatan lil ‘alamiin (rahmat bagi seluruh alam). Selain itu terdapat hadist yang cukup populer bagi kalangan muslim tentang suatu teks ajaran …”sebaik-baik manusia adalah mereka yang memiliki ahlak mulia dan bermanfaat bagi orang lain…”.

Merujuk kepada salah satu teks ajaran kitab suci umat Kristiani, terdapat satu (diantara yang lain) bahwa iman bagi umat kristiani bagaikan suatu pohon, pohon yang baik adalah yang berbuah, yang buah nya baik dan bermanfaat. Maka ukuran eksistensi –kebaikan– iman seorang kristiani diukur seberapa hidupnya berbuah kebajikan bagi orang lain. Artinya tidak cukup bagi umat Kristiani hanya “mengaku” beriman (sebagai umat kristiani) tetapi hidupnya tidak membawa manfaat dan kebaikan kepada sesama. Demikian juga pada umat Hindu dan Budha, tidaklah berbeda isi ajaran iman bagi umatny. Di dalam ajaran Iman bagi umat Hindu dan Budha dituntut untuk memiliki Dharma, sebagai tindakan kebajikan setelah ia mengaku beriman kepada Tuhan. Tiada kebajikan iman tanpa Dharma.

Jika setiap ajaran iman menuntut kewajiban setiap umat untuk berbuat kebajikan sebagai bukti iman mereka, secara umum mendorong kesimpulan kita bahwa kehidupan sosial pasti secara otomatis terjalin hubungan harmoni antar umat beragama. Tetapi fakta sosial sering mempertontonkan kenyataan yang bertentangan. Sering mencuat konflik antar umat beragama. Umat yang mengaku sama-sama beriman, sama-sama mengemban perintah berbuat kebajikan, sama-sama bertugas menciptakan kebaikan, mengapa sering terjadi konflik antar mereka ? Pasti adalah konstruksi lain diluar ajaran agama yang mempengaruhi terbentukanya fakta-fakta konflik sosial. Inilah perlunya dialog tersebut.

Dialog sosial bukan dialog teologis. bukan dialog yang mencari persamaan ajaran keagamaan masing-masing. dialog sosial adalah dialog bagi umat beragama untuk mencari persamaan dan pemahaman yang sama bahwa masing-masing umat beragama memiliki tugas-tugas sosial yang sama sebagai implementasi iman masing-masing. Dialog sosial berjalan di atas rel, yaitu ketetapan iman masing-masing tanpa berkurang sekiditpun, tetapi mendorong untuk menemukan format yang di dalam tugas-tugas sosial dari masing-masing umat beragama. Seorang muslim dalam eksistensi imannya memiliki tugas yang sama dengan seorang kristiani, umat Hindu, Umat Budha dan lainnya dalam membaca dan mensikapi persoalan-persoalan sosial. Saat menyaksikan adanya kemiskinan di suatu masyarakat, maka seorang muslim memiliki bobot tanggung jawab yang sama dengan umat Kristiani, umat Hindu maupun Umat Budha. Dalam konteks sosial ini, mereka yang terbaik adalah mereka yang paling baik akhlak dan bermanfaat bagi orang lain. Dialog sosial memberikan ukuran bahwa tidak setiap orang Islam atau Orang Kristiani pasti selalu lebih baik dari umat lainnya hanya karena keberadaan imannya tersebut, tetapi harus diuji dulu seberapa tugas-tugas sosialnya dilaksanakan atau tidak. Mengapa umat yang sama-sama mengemban tugas iman nya kepada tanggung jawab sosial tidak bisa bekerja sama melaksanakan tugasnya ? Inilah tugas dialog sosial itu.

Kedua adalah Dialog Kebangsaan, merupakan penerjemahan tanggung jawab iman kepada perasaan sama tentang tanggung jawab kepada bangsa. Apakah menjadi seorang muslim pasti menjadi warga bangsa terbaik ? Apakah menjadi Kristiani pasti merupakan warga terbaik ? Jawabnya belum tentu. Lalu apa komponen yang bisa membuktikan ? Dalam kaidah Islam tidak ada pertentangan antara Islam dan kebangsaan. Warga NU bahkan memiliki kaidah yang populer bahwa cinta tanah air adalah sebagaian dari iman.

Di dalam umat Katholik, agama dan kebangsaan juga memiliki bobot kewajiban untuk dipenuhi masing-masing. Setiap umat Katholik wajib melaksanakan ajaran Katholik, sekaligus wajib menjalankan kewajiaban-kewajiban sebagai warga bangsa. Ada kaidah yang cukup masyhur bagi kalangan umat Katholik, bahwa bagi tiap-tiap umat Katholik Indonesia, harus bisa menjadi Katholik 100 {272fb2cb2e1814ac6f78283889b93ba3bec936be4b2fc7c9984aa523d852c9b0} dan bersama-sama menjadi Indonesia 100 {272fb2cb2e1814ac6f78283889b93ba3bec936be4b2fc7c9984aa523d852c9b0}. Bagaimana dengan umat Hindu, umat Budha dan Umat Kong Hu cu ? Pasti tidak berbeda dalam konteks tanggung jawabnya kepada bangsa.

Secara umum tugas tiap umat agama memiliki bobot sama di dalam tanggung jawab kepada bangsa. Maka nalar umumnya pasti ada kerjasama antar umat beragama dalam membangun dan menjaga keberadaan bangsa. Tetapi fakta lapangan juga menunjukkan kenyataan yang sering berbalikan. Berbagai kepentingan di luar ajaran agama, seperti tendency ekonomi-politik adalah faktor yang sering dicurigai sebagai penumpang gelap yang menyebabkan terpinggirnya ajaran agama tersebut, menutupi hingga seakan-akan benturan yang terjadi adalah benturan antar umat beragama, sebagai “peran” antar iman.

Dialog kebangsaan bertujuan mengembalikan kesadaran bersama bahwa bangsa ini harus dipelihara bersama-sama umat beragama, dengan moralitas iman masing-masing tanpa maksud saling menegasikan, atau merasa terancam oleh lainnya. Dialog kebangsaan harus dimulai dari unsur-unsur yang menyadari adanya anggung jawab yang sama. Secara perlahan dialog kebangsaan harus mampu memabangun keyakinan dalam suana penuh perasaan sebagai bagian bangsa, yang satu dengan yang lain harus bekerja sama.

Dialog kebangsaan memang pekerjaan yang tidak mudah, karena telah bercampur sejarah kelam masa lalu yang di alami masing-masing umat. Tetapi ini adalah tantangannya. Bagi umat yang memiliki imaginasi tentang kehidupan yang harmoni di dalam kerangka NKRI, harus rela meninggalkan pengalaman-pengalaman kelam. Bagi mereka yang berpikiran moderat harus menurunkan tensi kepentingan dan eksistensi politik umat masing-masing. Kuncinya adalah trust satu kepada yang lain, memang sulit tetapi ini pilhan paling rasional harus kita lakukan. Bila tidak, mari kita bayangkan suatu saat NKRI ini bakal dikuasai golongan-golongan radikal. Lalu kita berada di mana ?

 

 

 

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.