Agama yang Pro Eksistensi
Oleh: M. Idham Kholiq
Kehidupan keagamaan di masyarakat belakangan ini ada yang menyebut secara positif makin marak. Namun cukup menarik bahwa gejala maraknya tersebut mengandung sisi-sisi yang sulit diterangkan, seperti sikap eksklusif, adanya sikap-sikap antar agama yang terselubung hal-hal superioritas atau sikap menang sendiri.
Bahkan terdapat kenyataan perkembangan kelompok agama yang mempunyai visi dan agendanya sendiri yang berbeda dengan kepentingan persatuan dan kebangsaan. Keduanya menjadikan situasi kekhawatiran tersendiri tentang arah integrasi bangsa serta nilai-nilai dan moral kebangsaan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Ada yang mengatakan bahwa sisi-sisi yang sulit diterangkan itu memang bawaan dari “sononya”. Awalnya, keberadaan agama itu, seperti ada secara sendirian mengabaikan kenyataan adanya agama-agama yang lain. Setiap siar-siar agama lebih ditujukan kepada pengembangan “jumlah” pengikut agama tersebut. Bertambahnya pengikut, dimaknai sebagai suatu prestasi siar agama. Siar-siar agama seperti ini senantiasa tidak menyadari bahwa satu sama lain akhirnya saling “berbenturan” untuk memperebutkan pengikut.
Kehadiran setiap agama akhirnya menjadi “suatu ancaman” bagi eksistensi agama lainnya. Mulailah di antara kelompok-kelompok agama ini saling melindungi diri masing-masing, serta sibuk dengan dirinya secara ekslusif.
Mereka pada dasarnya sadar mengenai keberadaan agama yang lain, namun masing-masing secara apologetic lebih banyak berusaha menonjolkan diri, menekankan perbedaan-perbedaan serta menampilkan kelebihan dirinya dibanding agama lain, sambil secara terselubung maupun secara terang-terangan selalu berusaha menyerang agama lain.
Sepertinya keadaan seperti inilah “wajah” hubungan keagamaan di masyarakat kita. Pemandangan yang agak paradoksal, di satu sisi mereka bicara tentang siar-siar agama yang mengajarkan nilai-nilai
kebaikan, menjaga keberlangsungan kehidupan. Di sisi lain menampilkan tontonan yang penuh “pertarungan” satu sama lain.
Kita perlu melihat ke depan, bahwa perkembangan keagamaan itu telah saling bertemu, agama-agama itu telah dianut oleh orang-orang yang serumah, se RT, sekampung dan seterusnya, sehingga perlu membuka diri atas kenyataan seperti itu.
Dalam sejarah kebangsaan, agama-agama juga telah memberi warna kepada nilai-nilai filosofis bersama untuk saling menjaga keberlangsungan kehidupan kebangsaan melalui persatuan dan kesatuan. Semua agama itu sesungguhnya bertujuan untuk kebahagiaan hidup dan kehidupan.
Dalam kepentingan menunaikan misi keagamaan untuk menjaga keberlangsungan kehidupan tersebut, sepertinya harus dibangun visi agama yang pro eksistensi. Artinya harus membuka kesadaran baru bahwa agama-agama itu ada bukan hanya untuk dirinya sendiri, bukan hanya untuk pengikutnya saja.
Mereka harus menyudahi pandangan lama yang bisa saja berakhir dengan saling memusnahkan satu sama lain. Sebaliknya, harus dibangun visi keagamaan yang saling menjaga eksistensi satu sama lain demi keberlangsungan kehidupan, seperti penciptakan harmoni sosial antar umat beragama dengan pendekatan baru yang inklusif dari gerakan-gerakan keagamaan.