Abah Kirom Setiap Pagi harus Ngeliwet Nasi untuk Anak Pondok
Namanya H. Mohammad Kirom, S.Pd.I, ketua FKUB Sidoarjo, ia menjadi sosok yang unik dan disenangi banyak orang. Karena kesederhanaannya dan mudah bergaul dengan bermacam karakter dan strata sosial masyarakat.
Ia mengaku, dulu hidup di keluarga sederhana dan pekerja keras. Hal itu berimbas pada pribadinya yang kuat dalam bersikap dan tidak mudah putus asa.
“Saya ini hanya anak orang biasa. Orang tua saya adalah pedagang biasa. Dulunya saya kalau pulang sekolah bantu orang tua jualan dan membantu pekerjaan rumah,‘’ kata H. Mohammad Kirom sambil mengenang masa mudanya.
Abah Kirom, nama panggilannya, merupakan penduduk asli Sidoarjo yang lahir pada 11 April 1966. Ia memiliki pengalaman organisasi cukup lama. Selama di organisasi kemasyarakatan ia dikenal ramah kepada siapa pun. “Saya PAS alias penduduk asli Sidoarjo,” candanya.
Jadi pantangan bagi Abah Kirom memandang teman dari sudut fisik, ekonomi, dan prestasi. Karena sosoknya terkenal hangat akan pertemanan karena memiliki sifat yang ramah dan tidak sombong.
Karir pertama di organisasi yakni ketika masih di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Candi. Saat itu ia bergabung di Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Di sanalah temannya semakin bertambah dan mulai belajar manajemen sosial berbasis pelajar. Kecerdasan sosialnya pun nampak di sana, sehingga dapat menjadi tolok ukur untuk memimpin banyak orang di kemudian hari.
Selain OSIS, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) juga pernah mematangkannya. Mulai jadi pengurus ranting di tingkat desa sampai pengurus anak cabang di tingkat kecamatan.
Yang menarik dari sosok Abah Kirom remaja yakni tidak pernah lupa kewajibannya untuk membantu orang tua. Baginya, berbhakti kepada orangtua menjadi kewajiban yang tak tergantikan meski setinggi apapun jabatan yang ia emban.
Selama mengikuti organisasi kepemudaan dan pelajar, ia berprinsip untuk tetap mengedepankan kewajiban sekolah dan kepada orangtua. Tak heran jika di SMA nilai pelajaran cukup memuaskan meski ia aktif di OSIS dan IPNU. “Menjadi organisatoris bukan berarti meninggalkan pelajaran sekolah,” tegas Abah Kirom.
Ia menambahkan, sebagai aktivis selain pinter juga harus cerdas. Artinya, bisa mengatur waktu dan memprioritaskan berbagai hal. Sedangkan saat SMA, selain di OSIS ia juga sudah menjadi pengurus ANSOR ranting, padahal organisasi itu merupakan wadah bagi anak muda NU usia matang atau dewasa. Tak tanggung-tanggung, saat itu ia sudah menjadi pengurus cabang atau kabupaten.
Saat jadi santri di pesantren pun ia berbeda dengan santri-santri pada umumnya. Jika santri kebanyakan dipondokkan dan dibiayai orangtua, Abah Kirom saat itu hanya dititipkan orangtuanya ke kyai karena tidak punya biaya untuk memondokkan anaknya.
Keterbatasan ekonomi bukan berarti dia harus menyerah untuk belajar. Semangat menuntut ilmu agama ditekuninya dengan baik.
“Waktu itu saya tidak bisa mondok, orang tua saya hanya menitipkan sama kyai, tidur dan ngaji di sana tapi saya tiap pagi harus ngeliwet nasi buat anak-anak pondok,” ujarnya.
Saat dipercaya sebagai ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) ia merasa senang, karena bisa beriteraksi dengan warga lintas iman. Pengalamannya di organisasi NU-lah membuatnya luwes dalam bersikap dan dapat menerima aspirasi masyarakat lintas agama.
Saat ini pun ia masih menjabat sebagai wakil ketua PCNU Sidoarjo. Sebelumnya juga sempat dipercaya memimpin Majelis Wakil Cabang NU Kecamatan Candi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) kecamatan Candi pun saat ini juga sedang dikomandaninya.
Selama memimpin FKUB ia berencana menitikberatkan pada pemeliharaan umat beragama. Tahun lalu program dialog antar agama dan pendirian rumah ibadah sudah terlaksana. Program-program lain di antaranya event hari besar agama dan santunan juga menjadi program pokok yang akan ia jalankan bersama anggota FKUB. (YAN)