Pendirian Rumah Ibadat Sebagai Bagian Dari Kerukunan Hidup Beragama
Oleh :
M. Idham Kholiq
Sekretaris FKUB Kab. Sidoarjo
Disampaikan dalam FGD Penguatan Jaringan Kerukunan Umat Beragama Tingkat Kecamatan se-Kabupaten Sidoarjo
Pendirian rumah ibadat menjadi salah satu persoalan penting ketika berbicara tentang kerukunan umat beragama. Izin untuk pendirian rumah ibadah, menjadi tantangan tersendiri dalam hidup berdampingan antar umat beragama. Meskipun tak dapat dipungkiri, terdapat pula banyak contoh tentang kemampuan hidup berdampingan dan harmoni dalam perbedaan. Hal tersebut dapat terlihat misalnya pada Masjid Istiqlal di Jakarta yang berdampingan dengan Gereja (Katholik) Katedral. Juga berita yang berkembang tentang saling bantu antara umat Kristiani dengan Umat Islam di Manado dalam membangun rumah ibadat, dan lain-lain. Namun urusan pendirian rumah ibadat jauh lebih banyak menimbulkan masalah dan konflik antar satu umat agama dengan umat agama lain.
Terkait urusan pendirian rumah ibadat, umat minoritas di suatu daerah selalu merasa was-was dan penuh kecurigaan bahwa izin mendirikan rumah ibadat pasti dihalang-halangi oleh umat mayoritas. Maka pendirian rumah ibadat harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan “ngakali” aturan atau posedur. Dalam pemahaman mereka, pelaksanaan aturan tidak lebih dari sekedar siasat kelompok mayoritas untuk menghalang-halangi dan pasti berakhir dengan kegagalan. Maka umat minoritas selalu merasa di-dzalimi.
Di sisi lain, kelompok agama mayoritas di suatu wilayah selalu khawatir dan curiga bahwa pendirian rumah ibadat di wilayahnya selalu digunakan sebagai siasat untuk menyebarkan agama bersangkutan dan menarik warga setempat untuk masuk ke agamanya. Kelompok mayoritas menganggap kelompok minoritas adalah pihak-pihak yang cukup piawai dalam berlindung di balik kebebasan beragama, padahal mereka selalu melakukan berbagai cara yang tidak terpuji dalam menyebarkan agamanya. Bukankah situasi ini merupakan bom waktu karena memendam pontensi konflik yang tidak terselesaikan?
Ketentuan-kententuan mengenai pendirian rumah ibadat, telah diatur melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 09 dan 08 Tahun 2006. Dalam Peraturan tersebut, yang dimaksud dengan rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Rumah ibadat permanen itu adalah Masjid bagi umat Islam, Gereja untuk umat Kristiani, Pura untuk Hindu, Wihara untuk umat Budha serta Kelenteng atau Litang bagi umat Konghucu. Adapun yang dimaksud rumah ibadat keluarga antara lain musala, langgar, surau atau lainnya bagi umat Islam. Setingkat dengan itu, adalah rumah do’a bagi umat Kristen, atau kapel bagi umat Katholik dan lain-lain.
Pendirian rumah ibadat permanen, harus memenuhi syarat khusus antara lain telah memiliki jemaat (pengguna) paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah. Syarat lainnya yaitu mendapat dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa.
Sering terjadi kekeliruan dan kesalahpahaman antar pihak dalam memahami kategori-kategori ini. Seorang umat Kristen biasa mengeluhkan banyaknya tempat ibadat orang Islam di desa-desa, berjajar-jajar dan berdekatan satu-sama lain tanpa mempertimbangkan jumlah jemaat. Sementara baginya, betapa sulit mendirikan gereja dengan alasan belum mencukupi jemaat hingga 90 orang. Pandangan ini jelas keliru karena tidak semua bangunan rumah ibadat muslim adalah Masjid. Banyak diantaranya yang berada di desa-desa adalah musala yang dikategorikan sebagai rumah ibadat keluarga, dan tidak merupakan rumah ibadat permanen.
Sementara itu, orang Islam juga sering keliru menyamakan rumah do’a sebagai gereja. Sehingga tidak sedikit umat Islam yang mengeluhkan rumah jemaat Kristen yang dianggap dipergunakan sebagai gereja. Kekeliruan ini bisa jadi memang ketidakpahaman mengenai peraturan yang berlaku, atau mungkin sudah disusupi perasaan penuh curiga dan tidak adanya saling menghormati dan toleransi.
Mencermati secara seksama isi Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 09 dan Nomor 08 Tahun 2006, sesungguhnya sarat dengan semangat toleransi. Misalnya pada pasal 13 ayat (1) disebutkan bahwa, “pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan atau desa”. Ruhnya adalah kesadaran dan kejujuran tentang kebutuhan yang nyata-nyata.
Hal tersebut, secara jelas dituangkan dalam pasal 14 peraturan tersebut yang menyatakan bahwa kebutuhan nyata itu setidak-tidaknya betul-betul memiliki jumlah jemaat paling sedikit 90 orang. Artinya, jika memang belum mencukupi 90 orang, maka tidak perlu memaksakan diri untuk mendirikan rumah ibadat (permanen). Misalkan umat Islam di suatu wilayah tidak memiliki paling sedikit 90 orang jama’ah, maka ia tidak perlu memaksanakan mendirikan Masjid. Jika butuh menjalankan salat Jumat, maka ia bisa memilih berjamaah di masjid lain terdekat. Demikian juga bagi umat Kristiani, bilamana belum memiliki jemaat paling sedikit 90 orang, tidaklah perlu memaksakan diri untuk mendirikan rumah ibadat permanen. Memanfaatkan rumah do’a tentu lebih tepat. Adapun kebutuhan untuk beribadat seperti misa atau lainnya, bisa menginduk di gereja terdekat yang masih dalam satu sinode.
Sekali lagi itikad ini adalah wujud dari toleransi dan saling menghormati umat beragama lain. Jika telah memenuhi jemaat 90 orang, maka setiap kelompok agama, dianggap telah memiliki hak untuk mendirikan rumah ibadat. Tinggal sejauhmana proses pendirian rumah ibadat itu telah mengikuti ketentuan yang berlaku, seperti tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentraman umum, serta sejauhmana mematuhi peraturan perundang-undangan, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 13 ayat (2) peraturan tersebut.
Hal terpenting dalam membangun kerukunan umat beragama adalah toleransi. Mengembangkan toleransi dalam hubungan sesama umat beragama dengan cara mengakui adanya perbedaan. Menghormati kebenaran agama orang lain berdasarkan keyakinan masing-masing adalah pertanda harmoni dalam perbedaan. Artinya, kita bisa hidup berdampingan satu sama lain dengan tetap menyadari adanya perbedaan. Tantangan memang ada, terutama bersumber dari tafsir atas teks agama itu sendiri. Maka tantangan terletak sepenuhnya kepada pengajaran agama itu sendiri, apakah agama diajarkan dalam tafsir bagi kesadaran untuk saling menghormati ataukah untuk saling bermusuhan satu sama lain.
Jika bangunan kerukunan umat beragama itu telah berdiri kokoh, ia menjadi daya immune yang bisa menangkal berbagai kepentingan yang bisa mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa. Jika itu yang terjadi, maka kita telah siap untuk saling bekerja sama meraih kemajuan sosial melalui sendi-sendi agama di dalam kerangka kebangsaan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amin.
Editing by NDA